Look

Jumat, 06 Agustus 2010

10 Ahli Surga dari Kalangan Sahabat Nabi*

Nabi Muhammad SAW menjamin 10 orang sahabatnya masuk surga. Mereka adalah Abu Bakar As Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abu Ubaidah bin Jarrah, Sa’id bin Zaid, Abdurrahman bin Auf,dan Thalhah bin Ubaidillah. Mereka dikenal sebagai orang-orang yang mempunyai keimanan yang sangat kuat. Selain itu, mereka juga sangat gigih membela tegaknya agama Islam di muka bumi.

“Dan orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada Allah. Allah menyediakan surge-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya kepada mereka. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS Surat Attaubah [9]: 100)

Di bawah ini riwayat singkat para sahabat tersebut.

1. Abu Bakar As Shisddiq (Politikus yang Andal)

Ia dikenal sebagai pertama yang masuk Islam. Ia selalu membenarkan apa-apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Karena itu, ia dijuluki gelar As Shiddiq, yaitu yang membenarkan. Julukan ini diberikan padanya saat Rasul SAW selesai menyelesaikan Isra dan Mi’raj pada 27 Rajab.

Di saat orang-orang Quraish menertawakan peristiwa itu, Abu Bakar malah memenarkannya. Lebih dari itu, ia berkata, “Andai ada yang lebih dari itu dan disampaikan oleh Rasul SAW, saya akan tetap membenarkannya,” ujarnya mantap.

Dalam keseharian ia dikenal sebagai orang yang paling rendah hati (tawadhu). Saat Rasul SAW meminta para sahabat menyumbangkan hartanya untuk kepentingan da’wah Islam, Abu Bakar memberikan seluruh hartanya. Dan ketika Rasul SAW bertanya apa yang ditinggalkannya untuk isteri dan anaknya, Abu Bakar menjawab, “Cukuplah Allah dan Rasul-Nya yang menjadi penjaga diriku dan keluargaku.” Rasul pun memuji sikap tersebut.

Abu Bakar pun sering ditunjuk oleh Rasul untuk menggantikannya, termasuk menjadi imam shalat karena ia sakit. Bahkan, ketika Rasul wafat para sahabat bersepakat untuk menunjuk Abu Bakar sebagai penggantinya.

2. Umar bin Khattab (Jendral yang Tegas)

Khalifah kedua ini dikenal sebagai pribadi yang tegas dan kuat. Sebelum masuk Islam dia dikenal sebagai lawan tanpa tanding. Musuh-musuhnya sering kali mundur saat mengetahui yang akan diahadapi adalah Umar bin Khattab.

Saat umat Islam masih sedikit nabi pernah berdo’a agar Islam dikuatkan oleh sakah satu dari dua Umar, yaitu Umar bin Abdul Muthalib (Abu Jahal) atau Umar bin Khattab. Ternyata Allah memberikan Umar bin Khattab sebagi karunia pada umat Islam.

Ia juga dikenal sebagai jendralnya kaum muslim. Ia sangat pemberani dan tegas. Bahkan, saat dakwah Islam dilakukan secara sembunyi-sembunyi, ia justru usul agar dakwah Islam disampaikan secara terbuka.

3. Usman bin Affan (Pengusaha yang Dermawan)

Ia adalah khalifah rasyidin yang ketiga menggantikan Umar bin Khattab. Ia termasuk keluarga kaya raya dan dermawan. Ayahnya Affan bin Abdul ‘Ash bin Umayyah adalah seorang pembesar masyarakat jahiliah yang terpandang.

Usman mendapatkan julukan Dzunnurayni (dua cahaya) karena menikahi dua puteri nabi. Mereka adalah Ruqayyah dan Ummu Kultsum. Ia juga dikenal sebagai ekonom muslim pertama karena perhatiannya yang besar terhadap masalah umat.

Saat kamu muslim mengalami kesulitan untuk memperoleh air, setiba di Madinah Usman membeli sumur air milik seorang Yahudi bernama Raumah seharga 20 ribu dirham. Selain itu, ia pun menjadi orang yang membeli tanah untuk perluasan masjid Nabawi. Hal ini menyebabkan umat semakin banyak dan mudah untuk beribadah di masjid.

4. Ali bin Abi Thalib (Pemuda Pemberani dan Gerbang Ilmu)

Ia adalah genarasi muda pertama yang masuk Islam. Ia ditunjuk sebagai khalifah keempat menggantikan Usman bin Affan. Ia dikenal pula sebagai pemuda pemberani dan cerdas. Ia pula yang ditunjuk menggantikan rasul di kamar tidur saat melaksanakan hijrah ke Madinah.

Ali adalah sepupu Nabi Muhammad SAW sekaligus menantunya. Ia menikahi puteri rasul, Fatimah az Zahra. Dari pernikahan mereka lahirlah cucu nabi, yaitu Hasan dan Husain. Karena kecerdasannya, Ali dijuluki Bab Al ‘Ilm atau gerbangnya ilmu.

5. Zubair bin Awwam (Pahlawan Islam)

Dr. Abdurrahman Umairah dalam bukunya Tokoh-Tokoh yang Diabadikan dalam Alquran menjelaskan, Zubair bin Awwam adalah seorang pengawal Rasulullah SAW dan dikenal sebagai pahlawan yang gagah berani di medan perang. Ia termasuk golongan yang pertama masuk Islam dan salah seorang dari enam sahabat nabi yang ditunjuk Umar untuk memilih penggantinya.

Ayahnya adalah awwam bin Khuwailid yang tewas dalam perang Fijar. Sedangkan ibunya Shafiyah binti Abdul Muthalib bin Hisyam bin abdi Manaf, adalah bibi Nabi SAW. Isterinya, Asma binti Abu Bakar, adalah saudari isteri Nabi SAW, Aisyah binti Abu Bakar.

“Maka demi Tuhanmu mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan. Kemudian, mereka tidak merasa berkeberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS Annisa [4]: 65) Beberapa ahli tafsir menyatakan bahwa ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan sahabat Rasulullah SAW, Zubair bin Awwam.

6. Sa’ad bin Abi Waqqash (Ditolak oleh Ibunya)

Menurut beberapa ahli tafsir, Allah menurunkan Alquran surat Luqman ayat 14 – 15 berkaitan dengan Sa’ad bin Abi Waqqash. Ayat ini memerintahkan umat manusia untuk berbuat baik kepada orang tua meskipun mereka tidak mau menerima Islam.

Ayahnya adalah Malik bin Ahib dari bani Abdi Manaf. Ibunya adalah Himnah binti Sufyan bin Umayyah. Setelah ayahnya meninggal dunia, ibunya yang bersusah payah menafkahi dan mendidiknya bersama dengan saudaranya hingga datangnya Islam. Kemudian, mereka memilih jalan sendiri-sendiri. Sa’ad masuk Islam dan ibunya tetap menyembah berhala.

“Ya Sa’ad, aku mendengar kau telah meninggalkan agama nenek moyangmu. Aku bersumpah tidak akan seatap (serumah) denganmu lagi. Aku tidak akan makan dan minum hingga kau kafir terhadap agama Muhammad dan kembali kepada agama nenek moyangmu.”

7. Abu Ubaidah bin Jarrah (Berhadapan dengan Ayah Kandung)

Ia adalah seorang panglima perang yang cerita kemenangan dan kesuksesannya menjadi pembicaraan dunia. Sosoknya juga dikenal sebagai seorang yang tidak silau dengan gemerlapnya dunia dan menerjunkan dirinya ke dalam berbagai medan perang untuk mencari mati syahid. Dia juga seorang sahabat yang dapat dipercaya dan pernah dipilih oleh Rasulullah SAW menjadi guru di Najran.

Menurut beberapa ahli tafsir, suart Almujadalah ayat 22 diturunkan berkenaan dengan Abu Ubaidah bin Jarrah saat ia membunuh ayah kandungnya dalam Perang Badar. Ayahnya adalah pasukan kaum musyrikin. Saat terjadi perang anak dan ayah saling berhadapan dan Abu Ubaidah berhasil mengalahkan ayahnya.

8. Thalhah bin Ubaidillah (Perisai Rasulullah SAW)

Ia merupakan sahabat nabi yang berasal dari suku Quraisy. Nama lengkapnya adalah Thalhah bin Abdullah bin Usman bin Kaab bin Said.

Dalam buku Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah disebutkan bahwa Thalhah termasuk orang yang bijak, ulama kaum Quraisy, dan termasuk delapan orang yang pertama masuk Islam.

Bersama rasul ia ikut di perang uhud, perang hunain, dan perang tabuk. Ia adalah perisai Rasulullah. Saat berkecamuknya perang uhud, kondisi umat Islam kocar-kacir. Ini terjadinya karena ketidakdisiplinan umat Islam dalam menjaga pertahanan. Akibatnya, kemenangan yang sudah di depan mata menjadi sirna karena tergoda dengan harta rampasan perang. Kesempatan itulah yang dimanfaatkan kafir Quraisy untuk menyerang umat Islam dari sudut lain.

Dalam kondisi yang demikian, Thalhah berusaha melindungi Rasulullah SAW dari senjata orang kafir hingga tangannya luka-luka. “Thalhah dan Zubair, keduanya adalah tetanggaku di surge.” (HR At Tirmidzi) “Siapa yang ingin melihat seorang syahid berjalan di muka bumi hendaklah ia melihat Thalhah bin Ubaidillah.” (HR At Tirmidzi)

9. Sa’id bin Zaid (Ide Cemerlang)

Nama lengkapnya adalah Sa’id bin Zaid bin Amru bin Nufail Al Quraisy Al Adawi. Ia terkenal sebagai sosok sahabat dengan gagasan-gagasan yang cemerlang dan pemberani. Ia termasuk yang mula-mula masuk Islam. Ia pula yang menjadi faktor keislaman Umar bin Khattab.

Isterinya, Fatimah binti Khattab, merupakan saudara perempuan Umar. Sementara itu, umar juga menikah dengan saudara perempuan Said, yaitu Atikah. Selain itu, Sa’id berkesempatan mengikuti beberapa pertempuran yang disertai nabi, kecuali Perang Badar. Ia ikut dalam Perang Yarmuk, penaklukan negeri Syam dan sekitarnya, serta pengepungan kota Damaskus dan pembebasannya.

10. Abdurrahman bin Auf (Terpercaya di Langit dan di Bumi

Ia adalah seorang dari sahabat nabi yang terkenal. Ia merupakan salah seorang dari delapan orang pertama (As Sabiqun al awwalun) yang menerima Islam, yaitu dua hari setelah Abu Bakar as Shiddiq. Nama lengkapnya adalah Abdurrahman bin Auf bin Abdul Auf bin Abdul Harits.

Ia juga dikenal sebagai orang kaya yang dermawan. Ia banyak mendermakan hartanya untuk kepentingan Islam dan memerdekakan banyak budak. Nabi SAW bersbada, “Aku melihat Abdurrahman masuk surge dengan merangkak.” Mendengar berita gembira itu, ia langsung mendermakan satu kafilah dagang seraya berkata, “Kalau aku bisa masuk surga dengan berdiri, niscaya akan kulakukan.”

Rasul bersabda, “Abdurrahman bin Auf adalah orang terpercaya di langit dan orang terpercaya di bumi.” (HR Harits bin Usamah)

*Dikutip dari harian Republika, Ahad, 28 Februari 2010 dengan beberapa perubahan.

Sumber: http://abdikelana.blogdetik.com/2010/03/02/kisah-sahabat-nabi/

Seharusnya Kita Selalu Menangis

Oleh: Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari)

Pernahkah Anda menangis -dalam keadaan sendirian- karena takut siksa Allâh Ta’ala? Ketahuilah, sesungguhnya hal itu merupakan jaminan selamat dari neraka. Menangis karena takut kepada Allâh Ta’ala akan mendorong seorang hamba untuk selalu istiqâmah di jalan-Nya, sehingga akan menjadi perisai dari api neraka. Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:

“Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis karena takut kepada Allâh sampai air susu kembali ke dalam teteknya. Dan debu di jalan Allâh tidak akan berkumpul dengan asap neraka Jahannam”.[1]

Mengapa Harus Menangis?

Seorang Mukmin yang mengetahui keagungan Allâh Ta’ala dan hak-Nya, setiap dia melihat dirinya banyak melalaikan kewajiban dan menerjang larangan, akan khawatir dosa-dosa itu akan menyebabkan siksa Allâh Ta’ala kepadanya.

Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:

“Sesungguhnya seorang Mukmin itu melihat dosa-dosanya seolah-olah dia berada di kaki sebuah gunung, dia khawatir gunung itu akan menimpanya. Sebaliknya, orang yang durhaka melihat dosa-dosanya seperti seekor lalat yang hinggap di atas hidungnya,dia mengusirnya dengan tangannya –begini-, maka lalat itu terbang”.(HR. at-Tirmidzi, no. 2497 dan dishahîhkan oleh al-Albâni rahimahullâh)

Ibnu Abi Jamrah rahimahullâh berkata,

“Sebabnya adalah, karena hati seorang Mukmin itu diberi cahaya. Apabila dia melihat pada dirinya ada sesuatu yang menyelisihi hatinya yang diberi cahaya, maka hal itu menjadi berat baginya. Hikmah perumpamaan dengan gunung yaitu apabila musibah yang menimpa manusia itu selain runtuhnya gunung, maka masih ada kemungkinan mereka selamat dari musibah-musibah itu. Lain halnya dengan gunung, jika gunung runtuh dan menimpa seseorang, umumnya dia tidak akan selamat. Kesimpulannya bahwa rasa takut seorang Mukmin (kepada siksa Allâh Ta’ala -pen) itu mendominasinya, karena kekuatan imannya menyebabkan dia tidak merasa aman dari hukuman itu. Inilah keadaan seorang Mukmin, dia selalu takut (kepada siksa Allâh-pen) dan bermurâqabah (mengawasi Allâh). Dia menganggap kecil amal shalihnya dan khawatir terhadap amal buruknya yang kecil”.
(Tuhfatul Ahwadzi, no. 2497)

Apalagi jika dia memperhatikan berbagai bencana dan musibah yang telah Allâh Ta’ala timpakan kepada orang-orang kafir di dunia ini, baik dahulu maupun sekarang. Hal itu membuatnya tidak merasa aman dari siksa Allâh Ta’ala .

Allâh Ta’ala berfirman yang artinya:

“Dan begitulah adzab Rabbmu apabila Dia mengadzab penduduk negeri-negeri yang berbuat zhalim. Sesungguhnya adzab-Nya sangat pedih lagi keras. Sesungguhnya pada peristiwa itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang takut kepada adzab akhirat. Hari Kiamat itu adalah suatu hari dimana manusia dikumpulkan untuk (menghadapi)-Nya, dan hari itu adalah suatu hari yang disaksikan (oleh segala makhluk). Dan Kami tiadalah mengundurkannya, melainkan sampai waktu yang tertentu. Saat hari itu tiba, tidak ada seorang pun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang bahagia. Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih)”.
(Qs Hûd/11:102-106)

Ketika dia merenungkan berbagai kejadian yang mengerikan pada hari Kiamat, berbagai kesusahan dan beban yang menanti manusia di akhirat, semua itu pasti akan menggiringnya untuk takut kepada Allâh Ta’ala al-Khâliq .

Allâh Ta’ala berfirman yang artinya:

“Hai manusia, bertakwalah kepada Rabbmu. Sesungguhnya kegoncangan hari Kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat). (Ingatlah), pada hari (ketika) kamu melihat kegoncangan itu, semua wanita yang menyusui anaknya lalai terhadap anak yang disusuinya, dan semua wanita yang hamil gugur kandungan. Kamu melihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk. Akan tetapi adzab Allâh itu sangat keras”.
(Qs al-Hajj/22:1-2)

Demikianlah sifat orang-orang yang beriman. Di dunia, mereka takut terhadap siksa Rabb mereka, kemudian berusaha menjaga diri dari siksa-Nya dengan takwa, yaitu melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Maka, Allâh Ta’ala memberikan balasan sesuai dengan jenis amal mereka. Dia memberikan keamanan di hari Kiamat dengan memasukkan mereka ke dalam surga-Nya.

Allâh Ta’ala berfirman yang artinya:

“Dan sebagian mereka (penghuni surga-pent) menghadap kepada sebagian yang lain; mereka saling bertanya. Mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami dahulu sewaktu berada di tengah-tengah keluarga, kami merasa takut (akan diadzab)”. Kemudian Allâh memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka. Sesungguhnya kami dahulu beribadah kepada-Nya. Sesungguhnya Dia-lah yang melimpahkan kebaikan lagi Maha Penyayang”.
(Qs ath-Thûr/52:25-28)

Ilmu Adalah Sebab Tangisan Karena Allâh Ta’ala

Semakin bertambah ilmu agama seseorang, semakin tambah pula takutnya terhadap keagungan Allâh Ta’ala.

Allâh Ta’ala berfirman yang artinya:

“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak, ada yang bermacam-macam warna (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allâh di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah Ulama. Sesungguhnya Allâh Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”.
(Qs Fâthir/35:28)

Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Surga dan neraka ditampakkan kepadaku, maka aku tidak melihat kebaikan dan keburukan seperti hari ini. Seandainya kamu mengetahui apa yang aku ketahui, kamu benar-benar akan sedikit tertawa dan banyak menangis”.

Anas bin Mâlik radhiyallâhu'anhu –perawi hadits ini- mengatakan, “Tidaklah ada satu hari pun yang lebih berat bagi para Sahabat selain hari itu. Mereka menutupi kepala mereka sambil menangis sesenggukan”.
(HR. Muslim, no. 2359)

Imam Nawawi rahimahullâh berkata, “Makna hadits ini, ‘Aku tidak pernah melihat kebaikan sama sekali melebihi apa yang telah aku lihat di dalam surga pada hari ini. Aku juga tidak pernah melihat keburukan melebihi apa yang telah aku lihat di dalam neraka pada hari ini. Seandainya kamu melihat apa yang telah aku lihat dan mengetahui apa yang telah aku ketahui, semua yang aku lihat hari ini dan sebelumnya, sungguh kamu pasti sangat takut, menjadi sedikit tertawa dan banyak menangis”.(Syarh Muslim, no. 2359)

Hadits ini menunjukkan anjuran menangis karena takut terhadap siksa Allâh Ta’ala dan tidak memperbanyak tertawa, karena banyak tertawa menunjukkan kelalaian dan kerasnya hati.

Lihatlah para Sahabat Nabi radhiyallâhu'anhum, begitu mudahnya mereka tersentuh oleh nasehat! Tidak sebagaimana kebanyakan orang di zaman ini. Memang, mereka adalah orang-orang yang paling lembut hatinya, paling banyak pemahaman agamanya, paling cepat menyambut ajaran agama. Mereka adalah Salafus Shâlih yang mulia, maka selayaknya kita meneladani mereka.
(Lihat Bahjatun Nâzhirîn Syarh Riyâdhus Shâlihin 1/475; no. 41)

Seandainya kita mengetahui bahwa tetesan air mata karena takut kepada Allâh Ta’ala merupakan tetesan yang paling dicintai oleh Allâh Ta’ala, tentulah kita akan menangis karena-Nya atau berusaha menangis sebisanya. Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjelaskan keutamaan tetesan air mata ini dengan sabda Beliau:

“Tidak ada sesuatu yang yang lebih dicintai oleh Allâh daripada dua tetesan dan dua bekas. Tetesan yang berupa air mata karena takut kepada Allâh dan tetesan darah yang ditumpahkan di jalan Allâh. Adapun dua bekas, yaitu bekas di jalan Allâh dan bekas di dalam (melaksanakan) suatu kewajiban dari kewajiban-kewajiban-Nya”.

Namun yang perlu kita perhatikan juga bahwa menangis tersebut adalah benar-benar karena Allâh Ta’ala, bukan karena manusia, seperti dilakukan di hadapan jama’ah atau bahkan dishooting TV dan disiarkan secara nasional. Oleh karena itu Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjanjikan kebaikan besar bagi seseorang yang menangis dalam keadaan sendirian. Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:

“Tujuh (orang) yang akan diberi naungan oleh Allâh pada naungan-Nya di hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. ...... (di antaranya): Seorang laki-laki yang menyebut Allâh di tempat yang sepi sehingga kedua matanya meneteskan air mata”.
(HR. al-Bukhâri, no. 660; Muslim, no. 1031)



Hari Kiamat adalah hari pengadilan yang agung. Hari ketika setiap hamba akan mempertanggung-jawabkan segala amal perbuatannya. Hari saat isi hati manusia akan dibongkar, segala rahasia akan ditampakkan di hadapan Allâh Yang Maha Mengetahui lagi Maha Perkasa. Maka kemana orang akan berlari? Alangkah bahagianya orang-orang yang akan mendapatkan naungan Allâh Ta’ala pada hari itu. Dan salah satu jalan keselamatan itu adalah menangis karena takut kepada Allâh Ta’ala.

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullâh berkata,

“Wahai saudaraku, jika engkau menyebut Allâh Ta’ala, sebutlah Rabb-mu dengan hati yang kosong dari memikirkan yang lain. Jangan pikirkan sesuatu pun selain-Nya. Jika engkau memikirkan sesuatu selain-Nya, engkau tidak akan bisa menangis karena takut kepada Allâh Ta’ala atau karena rindu kepada-Nya. Karena, seseorang tidak mungkin menangis sedangkan hatinya tersibukkan dengan sesuatu yang lain. Bagaimana engkau akan menangis karena rindu kepada Allâh Ta’ala dan karena takut kepada-Nya jika hatimu tersibukkan dengan selain-Nya?".



Oleh karena itu, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:


“Seorang laki-laki yang menyebut Allâh di tempat yang sepi”, yaitu hatinya kosong dari selain Allâh Ta’ala, badannya juga kosong (dari orang lain), dan tidak ada seorangpun di dekatnya yang menyebabkan tangisannya menjadi riyâ’ dan sum’ah. Namun, dia melakukan dengan ikhlas dan konsentrasi”.
(Syarh Riyâdhus Shâlihîn 2/342, no. 449)



Setelah kita mengetahui hal ini, maka alangkah pantasnya kita mulai menangis karena takut kepada Allâh Ta’ala.

Wallâhul Musta’ân.

(Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIII/Muharram 1431H/Januari 2010M)

Shalat Sebagai Ibadah dan Upaya Menggapai Ridha Allah



Salat adalah ibadah penentu yang nantinya menentukan seluruh amal ibadah kita nantinya di akhirat layak diterima oleh Allah atau tidak. Dalam suatu hadis disebutkan, bahwa ibadah seorang hamba yang pertama kali ditanyakan oleh Allah adalah salatnya.

Proses diperintahkannya salat berbeda dengan ibadah-ibadah yang lain. Kalau ibadah yang lain diperintahkan oleh Allah melalui Jibril, tetapi untuk salat Allah merasa perlu menciptakan momen khusus. Allah merasa perlu memanggil Nabi Muhammad secara langsung menghadap ke haribaan Allah di Sidratul Muntaha untuk menerima perintah Allah berupa salat.

Hanya salat yang disebut secara jelas oleh Allah akan mampu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, seperti yang termaktub di dalam Alquran:

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Ankabuut: 45)

Ayat tersebut jelas memberitahukan kepada kita, bahwa salat dijamin akan memberikan kedamaian dan mencegah kita dari peilaku-perilaku yang tidak baik. Jika kita jujur melihat diri kita dan kehidupan di sekitar kita, ternyata banyak sekali perbedaan dengan apa yang dijanjikan oleh Allah tersebut. Ada orang yang salat sangat khusyu’, tetapi maksiatnya juga khusyu’. Salatnya rajin, korupsinya juga rajin. Sehingga janji Allah tersebut layak kita pertanyakan, di manakah salahnya? Mengenai hal ini, ada dua kemungkinan: Pertama, Allah ingkar janji. Kita sudah salat, ternyata masih saja melakukan maksiat. Apakah Allah yang memang ingkar janji, atau kemungkinan yang kedua, yaitu salat kita tidak tepat sasaran. Dapat dipastikan, bahwa kemungkinan pertama tersebut pasti salah, apalagi Allah sudah memberikan janji bahwasanya Dia takkan melupakan apa yang dijanjikan-Nya seperti yang termaktub di dalam Alquran:

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengumpulkan manusia untuk (menerima pembalasan pada) hari yang tak ada keraguan padanya”. Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji. (Q.S. Ali Imraan: 9)

Kalau sudah seperti itu, maka yang sudah pasti itu adalah kemungkinan yang kedua, yaitu salat yang kita lakukanlah itu yang patut dipertanyakan, apakah itu betul-betul salat, atau tidak lebih dari sekedar melakukan salat, mengerti ataupun tidak mengerti, kita tetap melakukannya.

Rasulullah ternyata memberikan tips bagaimana bisa menciptakan salat yang salat itu nantinya mampu menggapai ridha Allah, yang kemudian disarikan oleh para ulama, salah satunya yang disarikan oleh Imam Muhammad ibn Muhammad Al-Ghazali. Bahwasanya salat itu akan mencapai sasarannya dan dijamin akan mendapatkan janji Allah apabila di dalamnya ada beberapa unsur:

Pertama, salat itu akan terlandasi dengan perasaan khusyu’ khuduril qalbi. Maksudnya, bahwa orang yang salat itu harus mengosongkan hatinya dari segala macam persoalan-persoalan, mempersetankan semua persoalan-persoalan dunia, menolak persoalan-persoalan lain selain daripada hanya mengingat Allah.

Sebenarnya kita mengetahui bahwa salat itu harus khusyu’. Tetapi bagaimanakah menciptakan dan menghadirkan kekhusyu’an di dalam salat itu? Rasulullah mengatakan, bahwa ada satu penyakit, tetapi juga menjadi obat yang ini juga sangat terkait erat dengan kekhusyu’an ketika kita salat, yaitu himma.

Himma adalah kecenderungan hati terhadap suatu persoalan. Sehingga kalau kita ingin menciptakan kekhusyu’an di dalam salat, maka kita harus pandai-pandai menguasai himma yang ada di dalam otak dan pikiran kita. Himma adalah perhatian yang serius dan seksama disertai tekad yang kuat untuk mencapai cita-cita, yang ini harus kita tundukkan. Karena pada hakikatnya, hati yang mengikuti himma, sementara hati sendiri tidak pernah hadir, kecuali sesuai dengan himma yang berada dan menguasai hati tersebut. Ini adalah watak dasar dari hati.

Jadi, kalau hati tidak hadir di dalam salat, bukan berarti hati itu menganggur, tetapi ia pasti sedang melayang di seputar urusan yang lebih menarik perhatian yang di situlah tekanan dan perhatian dari himma tersebut. Karena itulah, tak ada cara untuk menghadirkan hati, kecuali memalingkan himmanya kepada salat yang sedang dilakukan tersebut. Akan tetapi himma akan terlalu sulit berpaling ke sana sebelum tersadari bahwa tujuan hidup manusia hanya tergantung kepada salatnya. Ketika kita mengangkat takbir, maka buanglah semua persoalan yang sedang kita hadapi. Sehingga dengan begitu salat kita akan menjadi salat yang bermakna.

Kedua, salat itu juga harus diwarnai dengan tafaaqun, yaitu pemahaman yang mendalam dan mendetail tentang apa yang dilakukan di dalam salat itu. Artinya, ada upaya hati untuk memahami makna suatu ucapan yang diucapkan ketika salat dan perbuatan yang dilakukan ketika salat. Salat itu adalah ucapan dan perkatan serta perbuatan yang diawali dengan takbir ditutup dengan taslim. Karena itulah, pelaku salat harus memahami mengapa dia ruku’, sujud, dan sebagainya.

Hal ini hanya akan berhasil jika kita berhasil meninggalkan sesuatu yang menyebabkan pikiran-pikiran kita itu pecah. Jangan biarkan pikiran-pikiran kita itu melayang. Begitu ada tanda-tanda mau keluar dari koridor-koridor keinginan dan ingatan pada salat, maka cepatlah enyahkan itu.

Pada masa Rasulullah, di antara sahabat yang paling baik salatnya itu adalah Sayyidina Ali ibn Abi Thalib. Ketika usai mengikuti suatu peperangan, ternyata Ali luka parah. Ia terkena panah pada bagian belakangnya. Panah tersebut sangat sulit sekali dicabut, karena tentunya akan begitu sakitnya jika itu dilakukan. Fatimah Azzahra (istrinya–putri Rasulullah) menyarankan kepada orang-orang yang akan mencabut panah yang menancap pada tubuh Sayyidina Ali itu agar mencabut panah tersebut ketika Sayyidina Ali sedang salat.

Ketika Sayyidina Ali akan salat, orang-orang pun meminta izin kepadanya untuk mencabut panah tersebut ketika ia sedang salat dan kemudian diizinkan oleh Sayyidina Ali. Beliau pun salat. Setelah salat, Sayyidina Ali pun menanyakan kepada orang-orang yang akan mencabut panah tersebut, mengapa panah tersebut belum dicabut. Ternyata panah tersebut sudah dicabut ketika beliau sedang salat, dan beliau tidak merasakan itu karena begitu khusyu’nya salat yang dilakukannya itu.

Rasulullah menyatakan, bahwa naza’ (saat-saat dicabutnya nyawa ketika akan meninggal dunia) begitu luar biasa sakitnya. Kalau kita tidak mendapatkan pertolongan dari Allah, maka naza’ tersebut takkan pernah bisa tertanggungkan. Tetapi, Rasulullah pernah menjanjikan, bahwasanya saat-saat naza’ seorang mukmin akan sama mudah dan sama tidak sakitnya seolah-oleh kita menarik rambut dari tepung. Rasa sakitnya naza’ itu tetap ada, tetapi ada satu hal yang mampu meredam kesakitan tersebut. Apakah hal yang dimaksud?

Suatu masa ada seorang bijak yang merenung panjang, di manakah penjelasan Allah yang membenarkan penjelasan Rasulullah bahwa roh seorang muslim itu takkan merasakan kesakitan? Beliau mencari-cari hal tersebut dari Alquran, tetapi usahanya tersebut tetap tak mendapatkan hasil. Hingga ia hampir setengah putus asa, lalu ia pun bermimpi bertemu Rasulullah. Di dalam mimpinya tersebut, Rasulullah menyuruhnya mencari jawaban tersebut di Surah Yusuf. Setelah terbangun, ia pun mencari jawaban tersebut di Surah Yusuf. Setelah lama merenung, ia pun memahami apa yang dimaksudkan oleh Rasulullah di dalam mimpinya tersebut.

Konon, Nabi Yusuf adalah orang yang sangat tampan, yang itu mungkin hanya Rasulullah yang mampu menandingi, bahkan melebihi tampan dan rupawannya Nabi Yusuf. Pada riwayat Nabi Yusuf diceritakan, bahwa perempuan-perempuan yang diundang oleh Zulaikha begitu terkesima ketika melihat wajah Nabi Yusuf, sehingga mereka tidak sadar sudah melukai jari-jari mereka sendiri ketika memotong buah yang ada di tangan mereka masing-masing.

Ini adalah analogi, bahwa kesakitan-kesakitan tersebut bisa sirna ketika kita menemukan suatu kenikmatan yang lain. Begitu juga ketika kita menghadapi naza’, maka naza’ itu takkan ada artinya. Rasulullah menyampaikan, bahwa seorang muslim rohnya takkan pernah keluar sebelum ditunjukkan oleh Allah tempatnya di surga. Sehingga apalah artinya kesakitan yang luar biasa itu dibandingkan dengan kenikmatan surga. Begitu juga orang-orang kafir yang takkan pernah dicabut rohnya kecuali ditunjukkan dahulu tempatnya di neraka.

Suatu kesakitan akan hilang ketika melihat kenikmatan-kenikmatan. Sehingga bagi Sayyidina Ali yang merasakan nikmatnya salat, maka apalah artinya dicabutnya panah yang menancap di tubuhnya itu. Kita mungkin tak pernah merasakan nikmatnya salat. Yang ada kemudian adalah beban. Kita merasa terbebani dengan salat yang kita lakukan itu.

Ketiga, salat itu harus tercermin takzim (penghormatan) kita kepada Allah. Tetapi yang terjadi kemudian, salat kita itu adalah salat otomatis, salat yang hanya dihapalkan saja. Persoalannya adalah bagaimana kita menghadirkan rasa takzim ketika salat itu kepada Allah sehingga akan melahirkan kenikmatan-kenikmatan?

Ada dua hal yang bisa dilakukan untuk mampu menghadirkan penghormatan (takzim) kepada Allah di dalam salat tersebut: Pertama, kita harus hadirkan ma’rifatillah. Kita harus membayangkan bahwa hanya Allah lah yang menciptakan semuanya, memiliki semuanya, Dia lah yang Maha Kuasa, yang memiliki surga dan neraka, bahkan juga memiliki jiwa kita ini. Kedua, memahami dan mengakui kehinaan diri kita, sehingga kita takkan mampu melakukan apapun, takkan mampu menghasilkan apapun, kecuali dengan pertolongan Allah.

Kalau hal ini betul-betul dilakukan, maka yakinlah, takzim itu akan hadir di dalam salat kita. Persoalannya, kita tak pernah merasakan bahwa diri kita ini memang hina. Orang yang tidak merasa hina, maka itulah orang yang hina. Sedangkan orang yang merasa dirinya yang paling hina, maka itulah orang yang paling mulia. Jika kita menyadari kehinaan diri kita ini, maka kitapun akan menyadari bahwa diri ini takkan pernah menjadi orang terhormat kecuali dengan pertolongan Allah. Sehingga, jika dua hal ini bisa kita hadirkan di dalam salat kita, maka yakinlah, takzim kepada Allah juga akan hadir, yang konsekuensinya kita akan mendapatkan kenikmatan ketika kita melakukan salat.

Keempat, al-hayba, yaitu ketakutan, tetapi ketakutan yang berangkat dan disertai oleh pengagungan kita kepada Allah. Sehingga sangat berbeda dengan ketakutan ketika kita bertemu binatang buas. Ketakutan kita ketika bertemu binatang buas akan menjadikan kita lari dari binatang tersebut. Tetapi ketakutan kepada Allah yang berangkat dari pengagungan kepada Allah akan membuat kita menjadi musytaq (rindu), rindu, dan rindu sekali untuk hadir dan bertemu dengan Allah. Kerinduan kita untuk bertemu dengan Allah akan menyita seluruh perhatian kita.

Hayba ini akan bisa digapai dengan menghadirkan penyebabnya, yaitu mengetahui dan menyadari kekuasaan dan keperkasaan Allah. Kalau Dia sudah berkehendak, maka ”kun fayakun”, tak ada satupun yang bisa menghalangi-Nya.

Kelima, ar-raja’ (harapan). Kita landasi salat kita itu dengan harapan. Biasanya, harapan ini yang melahirkan ketekunan kita. Ketika kita sangat berharap, maka kita pun akan tekun melakukannya. Semakin kita berharap, maka kitapun semakin melakukannya. Kalau harapan ini betul-betul menguasai nurani dan hati kita, maka salat kita akan menjadi hidup.

Ar-raja’ ini sebetulnya terkait dengan poin-poin sebelumnya. Bahkan poin-poin sebelumnya itulah yang melahirkan raja’. Ketika seseorang merasa takut kepada Allah, maka ia akan raja’, berharap perlindungan dari kemarahan dan siksa Allah. Ketika seseorang mengagungkan dan menghormati Allah, maka ia akan berharap mendapatkan anugerah, kemuliaan, dan pertolongan di sisi-Nya. Penyebab yang bisa diharapkan menimbulkan perasaan raja’ adalah menyadari dan mengetahui luthfullah, bahwasanya Allah itu sangat lemah-lembut, sangat kasih sayang, sangat dermawan. Karena itulah kita berharap, berharap, dan berharap, dan jangan putus asa. Perasaan bahwa salat kita itu tidak benar, maka itu salah. Orang yang tidak mempunyai perasaan raja’, orang yang ragu-ragu, orang yang tidak percaya bahwasanya Allah akan menerima salatnya itu, maka itulah orang yang kafir.

Di dalam Alquran dinyatakan:

Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”. (Q.S. Yuusuf: 87)

Walaupun salat kita belum sempurna, maka yakinlah Allah maha segalanya. Walaupun kita selalu berusaha memperbaikinya, tidak cukup dengan apa yang sudah kita lakukan. Pengertian raja’ bukan berarti kita sudah merasa cukup.

Keenam, al-hayaa’, yaitu memiliki perasaan malu. Perasaan malu atas kelalaian dan ketidakmampuan kita mengimbangi kebaikan Allah. Apa yang sudah kita lakukan tentunya tak ada artinya dibandingkan dengan apa yang telah diberikan Allah kepada kita. Untuk menghadirkan perasaan malu ini, sehingga jika perasaan tersebut sudah hadir di dalam salat, maka kita hanya ingat kepada Allah, memohon maaf kepadanya, ternyata kita tak mampu membalas kebaikan yang telah diberikan-Nya kepada kita, sehingga kita merasa malu kepada-Nya akan hal tersebut.

Kiat untuk menghadirkan rasa malu ini adalah dengan cara kita harus mampu menghadirkan keyakinan atas hinanya apa yang kita lakukan dan atas banyaknya kebaikan-kebaikan Allah kepada kita. Nyaris setiap tarikan nafas kita melakukan kehinaan dan kemaksiatan. Sementara itu, setiap detik kita menikmati anugerah Allah. Dan ini akan lebih sempurna lagi jika dilandasi dengan kesadaran akan kekurangan dan cacat jiwa kita, serta tidak mampunya kita melaksanakan amanat yang kita terima.

Itulah perangkat-perangkat yang harus dipenuhi, yang kalau dipikirkan lebih mendalam lagi, bahwa semuanya itu bermuara kepada khusyu’. Sehingga tidak salah jika para ulama menyebutkan, bahwa khusyu’ adalah rohnya salat.

Bandingkanlah salat dengan ibadah-ibadah yang lain. Kalau kita jujur, maka tak ada ibadah yang mampu menandingi keutamaan salat. Sebut saja misalkan zakat, puasa, ataupun haji. Zakat pada dasarnya adalah upaya perlawanan terhadap nafsu yang cenderung mencintai harta dunia. Puasa juga cenderung mematahkan kekuasaan hawa nafsu yang notabenenya sering digunakan sebagai alat oleh setan untuk menghancurkan manusia. Puasa, zakat, dan haji sekalipun bisa terealisasi hikmah dan tujuannya tanpa kehadiran hati. Zakat yang kita lakukan tetap sah, walaupun kita melakukannya sambil mengigau. Puasa kita tetap sah, walaupun dari subuh kita tidur hingga maghrib baru kita bangun. Bandingkanlah dengan salat.

Ternyata salat tidak bisa kita lakukan seperti itu. Salat tak bisa dilakukan tanpa adanya kehadiran hati. Karena salat adalah bacaan, di samping juga pekerjaan (seperti ruku’ dan sujud), zikir, dan bacaan-bacaan lainnya. Zikir adalah ingatan atau dialog dan munajat antar kita yang salat ini dengan Allah. Kita langsung berhadapan dengan Allah. Sehingga hanya ada dua pilihan ketika orang sedang salat, ketika ia melafalkan bacaan-bacaan salat itu apakah ia sedang berdialog dengan Allah, ataukah hanya sekedar ucapan berupa lafal-lafal yang tidak ada kesannya sama sekali. Sementara ucapan itu adalah ingkapan dari apa yang ada di dalam hati. Jika kita berbicara (berucap) yang itu bukan berasal dari dalam hati, maka itu sama saja dengan mengigau.

Ketika ada yang mengucapkan terima kasih yang ucapan tersebut diucapakan ketika sedang tertidur (mengigau), maka apakah ucapan tersebut layak disebut sebagai ucapan terima kasih? Tentunya tidak.

Ketika kita duduk di antara dua sujud, maka ada doa yang kita ucapkan yaitu: Rabbighfirlii warhamnii wajburnii warfa’nii warzuqnii wahdinii wa’aafinii wa’fuannii (Ya Allah, ampunilah dosaku, belas kasihanilah aku, dan cukupkanlah segala kekurangan, dan angkatlah derajat kami, dan berilah rizqi kepadaku, dan berilah aku petunjuk, dan berilah kesehatan kepadaku, dan berilah ampunan kepadaku).

Tapi semua itu diucapkan tanpa adanya kehadiran hati, maka apakah ini layak dinamakan sebagai doa?

Ketika kita ruku’, tetapi tidak mengerti dan tidak menyadari bahwa ruku’ tersebut terhadap siapa. Apakah ruku’ tersebut terhadap Allah atau terhadap tembok yang ada di depannya? Inilah ketika tak adanya kehadiran hati dalam setiap tindakan salat yang kita lakukan. Ketika tak adanya kehadiran hati dalam salat kita, maka bagaimanakah mungkin salat kita tersebut akan mampu meredam dari segala kekejian dan kemungkaran.

Salat itu pada dasarnya adalah zikir, mengingat kepada Allah. Di dalam Alqiran disebutkan:

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (Q.S. Thaahaa: 14)

Sabda Rasulullah juga memperkuat apa yang dinyatakan oleh Allah, yaitu:
Bahwasanya diwajibkannya salat, diperintahkan haji, diperintahkan thawaf, diwajibkan untuk mengerjakan manasik, semata-mata untuk mengingat Allah. Sehingga ketika seseorang melakukan perintah-peritnah tersebut, sementara hatinya kosong tentang siapa yang memerintahkan tersebut, maka apalagi yang tersisa dari pekerjaan yang dilakukannya itu? (Al-Hadits)

Tujuan satu-satunya dari salat adalah zikir kepada Allah. Kalau hati sudah tidak lagi mengingat Allah (zikir), maka apalah lagi artinya dari salat itu?

Rasulullah berpesan, kalau sedang salat, maka jadikanlah salat tersebut sebagai salat perpisahan.

Dari apakah perpisahan yang dimaksud? Yaitu dari segala macam persoalan. Ketika akan salat, maka enyahkanlah semua persoalan-persoalan yang ada. Selamat tinggal semuanya, selamat tinggal kekasihku, selamat tinggal anakku, selamat tinggal suamiku, selamat tinggal istriku, aku akan menjumpai kekasihku yang abadi.

Inilah yang dilakukan oleh Rabi’atul Adawiyah, yang juga merupakan implementasi dari upayanya mencontoh Sayyidatuna Aisyah dan Rasulullah. Ketika Rasulullah bangun di tengah malam, maka ditanya oleh Aisyah, ”Ya Rasululah, hendak ke manakah engkau?”

Dijawab Rasulullah, ”Ya Aisyah, sudah lama aku bercumbu dengan engkau. Sekarang izinkan dan perkenankanlah aku untuk bercumbu dengan kekasih abadiku.”

Begitu Rasulullah menjawab seperti itu, lalu Aisyah pun berkata, ”Kalau begitu, aku pun juga akan bercumbu dengan kekasih abadiku.”

Maka kedua-duanya salat tak berhenti sampai Bilal azan Shubuh.

Inilah karena konsep menjadikan salat sebagai perpisahan sudah mendarah daging. Dan ini diperkuat oleh Alquran pada Surah Al-Insyiqaq ayat 6 yang berbunyi:

Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya. (Q.S. Al-Insyiqaaq: 6)

Artinya, bahwasa ketika kita mengucapkan selamat tinggal dan perpisahan pada seluruh apa yang ada ini, karena kita akan menuju ke satu tujuan, yaitu akan menjumpai Allah, dan menurut ayat ini, kita pasti akan bertemu dengan Allah.

Mudah-mudahan kita menjadi orang-orang yang mulaaqiih, yaitu orang yang bertemu dengan Allah, dengan kiat-kiat yang ditunjukkan oleh Rasulullah. Sehingga pada gilirannya, minimal pada saat naza’ nanti kita takkan pernah merasakan sakit. Bahkan lebih dari itu kita akan selalu dihantarkan untuk menuju ke surga Allah, beraudiensi dengan-Nya. []

Disarikan dari Ceramah Ahad yang disampaikan oleh Dr H.M. Masyhoeri Naim M.A. pada tanggal 22 Februari 2009 di Masjid Agung Sunda Kelapa-Jakarta. Transkriptor: Hanafi Mohan.

Sumber: http://abdullah-syauqi.cybermq.com/post/detail/5368/-menggapai-ridha-allah