Look

Jumat, 06 Agustus 2010

Shalat Sebagai Ibadah dan Upaya Menggapai Ridha Allah



Salat adalah ibadah penentu yang nantinya menentukan seluruh amal ibadah kita nantinya di akhirat layak diterima oleh Allah atau tidak. Dalam suatu hadis disebutkan, bahwa ibadah seorang hamba yang pertama kali ditanyakan oleh Allah adalah salatnya.

Proses diperintahkannya salat berbeda dengan ibadah-ibadah yang lain. Kalau ibadah yang lain diperintahkan oleh Allah melalui Jibril, tetapi untuk salat Allah merasa perlu menciptakan momen khusus. Allah merasa perlu memanggil Nabi Muhammad secara langsung menghadap ke haribaan Allah di Sidratul Muntaha untuk menerima perintah Allah berupa salat.

Hanya salat yang disebut secara jelas oleh Allah akan mampu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, seperti yang termaktub di dalam Alquran:

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Ankabuut: 45)

Ayat tersebut jelas memberitahukan kepada kita, bahwa salat dijamin akan memberikan kedamaian dan mencegah kita dari peilaku-perilaku yang tidak baik. Jika kita jujur melihat diri kita dan kehidupan di sekitar kita, ternyata banyak sekali perbedaan dengan apa yang dijanjikan oleh Allah tersebut. Ada orang yang salat sangat khusyu’, tetapi maksiatnya juga khusyu’. Salatnya rajin, korupsinya juga rajin. Sehingga janji Allah tersebut layak kita pertanyakan, di manakah salahnya? Mengenai hal ini, ada dua kemungkinan: Pertama, Allah ingkar janji. Kita sudah salat, ternyata masih saja melakukan maksiat. Apakah Allah yang memang ingkar janji, atau kemungkinan yang kedua, yaitu salat kita tidak tepat sasaran. Dapat dipastikan, bahwa kemungkinan pertama tersebut pasti salah, apalagi Allah sudah memberikan janji bahwasanya Dia takkan melupakan apa yang dijanjikan-Nya seperti yang termaktub di dalam Alquran:

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengumpulkan manusia untuk (menerima pembalasan pada) hari yang tak ada keraguan padanya”. Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji. (Q.S. Ali Imraan: 9)

Kalau sudah seperti itu, maka yang sudah pasti itu adalah kemungkinan yang kedua, yaitu salat yang kita lakukanlah itu yang patut dipertanyakan, apakah itu betul-betul salat, atau tidak lebih dari sekedar melakukan salat, mengerti ataupun tidak mengerti, kita tetap melakukannya.

Rasulullah ternyata memberikan tips bagaimana bisa menciptakan salat yang salat itu nantinya mampu menggapai ridha Allah, yang kemudian disarikan oleh para ulama, salah satunya yang disarikan oleh Imam Muhammad ibn Muhammad Al-Ghazali. Bahwasanya salat itu akan mencapai sasarannya dan dijamin akan mendapatkan janji Allah apabila di dalamnya ada beberapa unsur:

Pertama, salat itu akan terlandasi dengan perasaan khusyu’ khuduril qalbi. Maksudnya, bahwa orang yang salat itu harus mengosongkan hatinya dari segala macam persoalan-persoalan, mempersetankan semua persoalan-persoalan dunia, menolak persoalan-persoalan lain selain daripada hanya mengingat Allah.

Sebenarnya kita mengetahui bahwa salat itu harus khusyu’. Tetapi bagaimanakah menciptakan dan menghadirkan kekhusyu’an di dalam salat itu? Rasulullah mengatakan, bahwa ada satu penyakit, tetapi juga menjadi obat yang ini juga sangat terkait erat dengan kekhusyu’an ketika kita salat, yaitu himma.

Himma adalah kecenderungan hati terhadap suatu persoalan. Sehingga kalau kita ingin menciptakan kekhusyu’an di dalam salat, maka kita harus pandai-pandai menguasai himma yang ada di dalam otak dan pikiran kita. Himma adalah perhatian yang serius dan seksama disertai tekad yang kuat untuk mencapai cita-cita, yang ini harus kita tundukkan. Karena pada hakikatnya, hati yang mengikuti himma, sementara hati sendiri tidak pernah hadir, kecuali sesuai dengan himma yang berada dan menguasai hati tersebut. Ini adalah watak dasar dari hati.

Jadi, kalau hati tidak hadir di dalam salat, bukan berarti hati itu menganggur, tetapi ia pasti sedang melayang di seputar urusan yang lebih menarik perhatian yang di situlah tekanan dan perhatian dari himma tersebut. Karena itulah, tak ada cara untuk menghadirkan hati, kecuali memalingkan himmanya kepada salat yang sedang dilakukan tersebut. Akan tetapi himma akan terlalu sulit berpaling ke sana sebelum tersadari bahwa tujuan hidup manusia hanya tergantung kepada salatnya. Ketika kita mengangkat takbir, maka buanglah semua persoalan yang sedang kita hadapi. Sehingga dengan begitu salat kita akan menjadi salat yang bermakna.

Kedua, salat itu juga harus diwarnai dengan tafaaqun, yaitu pemahaman yang mendalam dan mendetail tentang apa yang dilakukan di dalam salat itu. Artinya, ada upaya hati untuk memahami makna suatu ucapan yang diucapkan ketika salat dan perbuatan yang dilakukan ketika salat. Salat itu adalah ucapan dan perkatan serta perbuatan yang diawali dengan takbir ditutup dengan taslim. Karena itulah, pelaku salat harus memahami mengapa dia ruku’, sujud, dan sebagainya.

Hal ini hanya akan berhasil jika kita berhasil meninggalkan sesuatu yang menyebabkan pikiran-pikiran kita itu pecah. Jangan biarkan pikiran-pikiran kita itu melayang. Begitu ada tanda-tanda mau keluar dari koridor-koridor keinginan dan ingatan pada salat, maka cepatlah enyahkan itu.

Pada masa Rasulullah, di antara sahabat yang paling baik salatnya itu adalah Sayyidina Ali ibn Abi Thalib. Ketika usai mengikuti suatu peperangan, ternyata Ali luka parah. Ia terkena panah pada bagian belakangnya. Panah tersebut sangat sulit sekali dicabut, karena tentunya akan begitu sakitnya jika itu dilakukan. Fatimah Azzahra (istrinya–putri Rasulullah) menyarankan kepada orang-orang yang akan mencabut panah yang menancap pada tubuh Sayyidina Ali itu agar mencabut panah tersebut ketika Sayyidina Ali sedang salat.

Ketika Sayyidina Ali akan salat, orang-orang pun meminta izin kepadanya untuk mencabut panah tersebut ketika ia sedang salat dan kemudian diizinkan oleh Sayyidina Ali. Beliau pun salat. Setelah salat, Sayyidina Ali pun menanyakan kepada orang-orang yang akan mencabut panah tersebut, mengapa panah tersebut belum dicabut. Ternyata panah tersebut sudah dicabut ketika beliau sedang salat, dan beliau tidak merasakan itu karena begitu khusyu’nya salat yang dilakukannya itu.

Rasulullah menyatakan, bahwa naza’ (saat-saat dicabutnya nyawa ketika akan meninggal dunia) begitu luar biasa sakitnya. Kalau kita tidak mendapatkan pertolongan dari Allah, maka naza’ tersebut takkan pernah bisa tertanggungkan. Tetapi, Rasulullah pernah menjanjikan, bahwasanya saat-saat naza’ seorang mukmin akan sama mudah dan sama tidak sakitnya seolah-oleh kita menarik rambut dari tepung. Rasa sakitnya naza’ itu tetap ada, tetapi ada satu hal yang mampu meredam kesakitan tersebut. Apakah hal yang dimaksud?

Suatu masa ada seorang bijak yang merenung panjang, di manakah penjelasan Allah yang membenarkan penjelasan Rasulullah bahwa roh seorang muslim itu takkan merasakan kesakitan? Beliau mencari-cari hal tersebut dari Alquran, tetapi usahanya tersebut tetap tak mendapatkan hasil. Hingga ia hampir setengah putus asa, lalu ia pun bermimpi bertemu Rasulullah. Di dalam mimpinya tersebut, Rasulullah menyuruhnya mencari jawaban tersebut di Surah Yusuf. Setelah terbangun, ia pun mencari jawaban tersebut di Surah Yusuf. Setelah lama merenung, ia pun memahami apa yang dimaksudkan oleh Rasulullah di dalam mimpinya tersebut.

Konon, Nabi Yusuf adalah orang yang sangat tampan, yang itu mungkin hanya Rasulullah yang mampu menandingi, bahkan melebihi tampan dan rupawannya Nabi Yusuf. Pada riwayat Nabi Yusuf diceritakan, bahwa perempuan-perempuan yang diundang oleh Zulaikha begitu terkesima ketika melihat wajah Nabi Yusuf, sehingga mereka tidak sadar sudah melukai jari-jari mereka sendiri ketika memotong buah yang ada di tangan mereka masing-masing.

Ini adalah analogi, bahwa kesakitan-kesakitan tersebut bisa sirna ketika kita menemukan suatu kenikmatan yang lain. Begitu juga ketika kita menghadapi naza’, maka naza’ itu takkan ada artinya. Rasulullah menyampaikan, bahwa seorang muslim rohnya takkan pernah keluar sebelum ditunjukkan oleh Allah tempatnya di surga. Sehingga apalah artinya kesakitan yang luar biasa itu dibandingkan dengan kenikmatan surga. Begitu juga orang-orang kafir yang takkan pernah dicabut rohnya kecuali ditunjukkan dahulu tempatnya di neraka.

Suatu kesakitan akan hilang ketika melihat kenikmatan-kenikmatan. Sehingga bagi Sayyidina Ali yang merasakan nikmatnya salat, maka apalah artinya dicabutnya panah yang menancap di tubuhnya itu. Kita mungkin tak pernah merasakan nikmatnya salat. Yang ada kemudian adalah beban. Kita merasa terbebani dengan salat yang kita lakukan itu.

Ketiga, salat itu harus tercermin takzim (penghormatan) kita kepada Allah. Tetapi yang terjadi kemudian, salat kita itu adalah salat otomatis, salat yang hanya dihapalkan saja. Persoalannya adalah bagaimana kita menghadirkan rasa takzim ketika salat itu kepada Allah sehingga akan melahirkan kenikmatan-kenikmatan?

Ada dua hal yang bisa dilakukan untuk mampu menghadirkan penghormatan (takzim) kepada Allah di dalam salat tersebut: Pertama, kita harus hadirkan ma’rifatillah. Kita harus membayangkan bahwa hanya Allah lah yang menciptakan semuanya, memiliki semuanya, Dia lah yang Maha Kuasa, yang memiliki surga dan neraka, bahkan juga memiliki jiwa kita ini. Kedua, memahami dan mengakui kehinaan diri kita, sehingga kita takkan mampu melakukan apapun, takkan mampu menghasilkan apapun, kecuali dengan pertolongan Allah.

Kalau hal ini betul-betul dilakukan, maka yakinlah, takzim itu akan hadir di dalam salat kita. Persoalannya, kita tak pernah merasakan bahwa diri kita ini memang hina. Orang yang tidak merasa hina, maka itulah orang yang hina. Sedangkan orang yang merasa dirinya yang paling hina, maka itulah orang yang paling mulia. Jika kita menyadari kehinaan diri kita ini, maka kitapun akan menyadari bahwa diri ini takkan pernah menjadi orang terhormat kecuali dengan pertolongan Allah. Sehingga, jika dua hal ini bisa kita hadirkan di dalam salat kita, maka yakinlah, takzim kepada Allah juga akan hadir, yang konsekuensinya kita akan mendapatkan kenikmatan ketika kita melakukan salat.

Keempat, al-hayba, yaitu ketakutan, tetapi ketakutan yang berangkat dan disertai oleh pengagungan kita kepada Allah. Sehingga sangat berbeda dengan ketakutan ketika kita bertemu binatang buas. Ketakutan kita ketika bertemu binatang buas akan menjadikan kita lari dari binatang tersebut. Tetapi ketakutan kepada Allah yang berangkat dari pengagungan kepada Allah akan membuat kita menjadi musytaq (rindu), rindu, dan rindu sekali untuk hadir dan bertemu dengan Allah. Kerinduan kita untuk bertemu dengan Allah akan menyita seluruh perhatian kita.

Hayba ini akan bisa digapai dengan menghadirkan penyebabnya, yaitu mengetahui dan menyadari kekuasaan dan keperkasaan Allah. Kalau Dia sudah berkehendak, maka ”kun fayakun”, tak ada satupun yang bisa menghalangi-Nya.

Kelima, ar-raja’ (harapan). Kita landasi salat kita itu dengan harapan. Biasanya, harapan ini yang melahirkan ketekunan kita. Ketika kita sangat berharap, maka kita pun akan tekun melakukannya. Semakin kita berharap, maka kitapun semakin melakukannya. Kalau harapan ini betul-betul menguasai nurani dan hati kita, maka salat kita akan menjadi hidup.

Ar-raja’ ini sebetulnya terkait dengan poin-poin sebelumnya. Bahkan poin-poin sebelumnya itulah yang melahirkan raja’. Ketika seseorang merasa takut kepada Allah, maka ia akan raja’, berharap perlindungan dari kemarahan dan siksa Allah. Ketika seseorang mengagungkan dan menghormati Allah, maka ia akan berharap mendapatkan anugerah, kemuliaan, dan pertolongan di sisi-Nya. Penyebab yang bisa diharapkan menimbulkan perasaan raja’ adalah menyadari dan mengetahui luthfullah, bahwasanya Allah itu sangat lemah-lembut, sangat kasih sayang, sangat dermawan. Karena itulah kita berharap, berharap, dan berharap, dan jangan putus asa. Perasaan bahwa salat kita itu tidak benar, maka itu salah. Orang yang tidak mempunyai perasaan raja’, orang yang ragu-ragu, orang yang tidak percaya bahwasanya Allah akan menerima salatnya itu, maka itulah orang yang kafir.

Di dalam Alquran dinyatakan:

Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”. (Q.S. Yuusuf: 87)

Walaupun salat kita belum sempurna, maka yakinlah Allah maha segalanya. Walaupun kita selalu berusaha memperbaikinya, tidak cukup dengan apa yang sudah kita lakukan. Pengertian raja’ bukan berarti kita sudah merasa cukup.

Keenam, al-hayaa’, yaitu memiliki perasaan malu. Perasaan malu atas kelalaian dan ketidakmampuan kita mengimbangi kebaikan Allah. Apa yang sudah kita lakukan tentunya tak ada artinya dibandingkan dengan apa yang telah diberikan Allah kepada kita. Untuk menghadirkan perasaan malu ini, sehingga jika perasaan tersebut sudah hadir di dalam salat, maka kita hanya ingat kepada Allah, memohon maaf kepadanya, ternyata kita tak mampu membalas kebaikan yang telah diberikan-Nya kepada kita, sehingga kita merasa malu kepada-Nya akan hal tersebut.

Kiat untuk menghadirkan rasa malu ini adalah dengan cara kita harus mampu menghadirkan keyakinan atas hinanya apa yang kita lakukan dan atas banyaknya kebaikan-kebaikan Allah kepada kita. Nyaris setiap tarikan nafas kita melakukan kehinaan dan kemaksiatan. Sementara itu, setiap detik kita menikmati anugerah Allah. Dan ini akan lebih sempurna lagi jika dilandasi dengan kesadaran akan kekurangan dan cacat jiwa kita, serta tidak mampunya kita melaksanakan amanat yang kita terima.

Itulah perangkat-perangkat yang harus dipenuhi, yang kalau dipikirkan lebih mendalam lagi, bahwa semuanya itu bermuara kepada khusyu’. Sehingga tidak salah jika para ulama menyebutkan, bahwa khusyu’ adalah rohnya salat.

Bandingkanlah salat dengan ibadah-ibadah yang lain. Kalau kita jujur, maka tak ada ibadah yang mampu menandingi keutamaan salat. Sebut saja misalkan zakat, puasa, ataupun haji. Zakat pada dasarnya adalah upaya perlawanan terhadap nafsu yang cenderung mencintai harta dunia. Puasa juga cenderung mematahkan kekuasaan hawa nafsu yang notabenenya sering digunakan sebagai alat oleh setan untuk menghancurkan manusia. Puasa, zakat, dan haji sekalipun bisa terealisasi hikmah dan tujuannya tanpa kehadiran hati. Zakat yang kita lakukan tetap sah, walaupun kita melakukannya sambil mengigau. Puasa kita tetap sah, walaupun dari subuh kita tidur hingga maghrib baru kita bangun. Bandingkanlah dengan salat.

Ternyata salat tidak bisa kita lakukan seperti itu. Salat tak bisa dilakukan tanpa adanya kehadiran hati. Karena salat adalah bacaan, di samping juga pekerjaan (seperti ruku’ dan sujud), zikir, dan bacaan-bacaan lainnya. Zikir adalah ingatan atau dialog dan munajat antar kita yang salat ini dengan Allah. Kita langsung berhadapan dengan Allah. Sehingga hanya ada dua pilihan ketika orang sedang salat, ketika ia melafalkan bacaan-bacaan salat itu apakah ia sedang berdialog dengan Allah, ataukah hanya sekedar ucapan berupa lafal-lafal yang tidak ada kesannya sama sekali. Sementara ucapan itu adalah ingkapan dari apa yang ada di dalam hati. Jika kita berbicara (berucap) yang itu bukan berasal dari dalam hati, maka itu sama saja dengan mengigau.

Ketika ada yang mengucapkan terima kasih yang ucapan tersebut diucapakan ketika sedang tertidur (mengigau), maka apakah ucapan tersebut layak disebut sebagai ucapan terima kasih? Tentunya tidak.

Ketika kita duduk di antara dua sujud, maka ada doa yang kita ucapkan yaitu: Rabbighfirlii warhamnii wajburnii warfa’nii warzuqnii wahdinii wa’aafinii wa’fuannii (Ya Allah, ampunilah dosaku, belas kasihanilah aku, dan cukupkanlah segala kekurangan, dan angkatlah derajat kami, dan berilah rizqi kepadaku, dan berilah aku petunjuk, dan berilah kesehatan kepadaku, dan berilah ampunan kepadaku).

Tapi semua itu diucapkan tanpa adanya kehadiran hati, maka apakah ini layak dinamakan sebagai doa?

Ketika kita ruku’, tetapi tidak mengerti dan tidak menyadari bahwa ruku’ tersebut terhadap siapa. Apakah ruku’ tersebut terhadap Allah atau terhadap tembok yang ada di depannya? Inilah ketika tak adanya kehadiran hati dalam setiap tindakan salat yang kita lakukan. Ketika tak adanya kehadiran hati dalam salat kita, maka bagaimanakah mungkin salat kita tersebut akan mampu meredam dari segala kekejian dan kemungkaran.

Salat itu pada dasarnya adalah zikir, mengingat kepada Allah. Di dalam Alqiran disebutkan:

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (Q.S. Thaahaa: 14)

Sabda Rasulullah juga memperkuat apa yang dinyatakan oleh Allah, yaitu:
Bahwasanya diwajibkannya salat, diperintahkan haji, diperintahkan thawaf, diwajibkan untuk mengerjakan manasik, semata-mata untuk mengingat Allah. Sehingga ketika seseorang melakukan perintah-peritnah tersebut, sementara hatinya kosong tentang siapa yang memerintahkan tersebut, maka apalagi yang tersisa dari pekerjaan yang dilakukannya itu? (Al-Hadits)

Tujuan satu-satunya dari salat adalah zikir kepada Allah. Kalau hati sudah tidak lagi mengingat Allah (zikir), maka apalah lagi artinya dari salat itu?

Rasulullah berpesan, kalau sedang salat, maka jadikanlah salat tersebut sebagai salat perpisahan.

Dari apakah perpisahan yang dimaksud? Yaitu dari segala macam persoalan. Ketika akan salat, maka enyahkanlah semua persoalan-persoalan yang ada. Selamat tinggal semuanya, selamat tinggal kekasihku, selamat tinggal anakku, selamat tinggal suamiku, selamat tinggal istriku, aku akan menjumpai kekasihku yang abadi.

Inilah yang dilakukan oleh Rabi’atul Adawiyah, yang juga merupakan implementasi dari upayanya mencontoh Sayyidatuna Aisyah dan Rasulullah. Ketika Rasulullah bangun di tengah malam, maka ditanya oleh Aisyah, ”Ya Rasululah, hendak ke manakah engkau?”

Dijawab Rasulullah, ”Ya Aisyah, sudah lama aku bercumbu dengan engkau. Sekarang izinkan dan perkenankanlah aku untuk bercumbu dengan kekasih abadiku.”

Begitu Rasulullah menjawab seperti itu, lalu Aisyah pun berkata, ”Kalau begitu, aku pun juga akan bercumbu dengan kekasih abadiku.”

Maka kedua-duanya salat tak berhenti sampai Bilal azan Shubuh.

Inilah karena konsep menjadikan salat sebagai perpisahan sudah mendarah daging. Dan ini diperkuat oleh Alquran pada Surah Al-Insyiqaq ayat 6 yang berbunyi:

Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya. (Q.S. Al-Insyiqaaq: 6)

Artinya, bahwasa ketika kita mengucapkan selamat tinggal dan perpisahan pada seluruh apa yang ada ini, karena kita akan menuju ke satu tujuan, yaitu akan menjumpai Allah, dan menurut ayat ini, kita pasti akan bertemu dengan Allah.

Mudah-mudahan kita menjadi orang-orang yang mulaaqiih, yaitu orang yang bertemu dengan Allah, dengan kiat-kiat yang ditunjukkan oleh Rasulullah. Sehingga pada gilirannya, minimal pada saat naza’ nanti kita takkan pernah merasakan sakit. Bahkan lebih dari itu kita akan selalu dihantarkan untuk menuju ke surga Allah, beraudiensi dengan-Nya. []

Disarikan dari Ceramah Ahad yang disampaikan oleh Dr H.M. Masyhoeri Naim M.A. pada tanggal 22 Februari 2009 di Masjid Agung Sunda Kelapa-Jakarta. Transkriptor: Hanafi Mohan.

Sumber: http://abdullah-syauqi.cybermq.com/post/detail/5368/-menggapai-ridha-allah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar