Look

Jumat, 06 Agustus 2010

10 Ahli Surga dari Kalangan Sahabat Nabi*

Nabi Muhammad SAW menjamin 10 orang sahabatnya masuk surga. Mereka adalah Abu Bakar As Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abu Ubaidah bin Jarrah, Sa’id bin Zaid, Abdurrahman bin Auf,dan Thalhah bin Ubaidillah. Mereka dikenal sebagai orang-orang yang mempunyai keimanan yang sangat kuat. Selain itu, mereka juga sangat gigih membela tegaknya agama Islam di muka bumi.

“Dan orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada Allah. Allah menyediakan surge-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya kepada mereka. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS Surat Attaubah [9]: 100)

Di bawah ini riwayat singkat para sahabat tersebut.

1. Abu Bakar As Shisddiq (Politikus yang Andal)

Ia dikenal sebagai pertama yang masuk Islam. Ia selalu membenarkan apa-apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Karena itu, ia dijuluki gelar As Shiddiq, yaitu yang membenarkan. Julukan ini diberikan padanya saat Rasul SAW selesai menyelesaikan Isra dan Mi’raj pada 27 Rajab.

Di saat orang-orang Quraish menertawakan peristiwa itu, Abu Bakar malah memenarkannya. Lebih dari itu, ia berkata, “Andai ada yang lebih dari itu dan disampaikan oleh Rasul SAW, saya akan tetap membenarkannya,” ujarnya mantap.

Dalam keseharian ia dikenal sebagai orang yang paling rendah hati (tawadhu). Saat Rasul SAW meminta para sahabat menyumbangkan hartanya untuk kepentingan da’wah Islam, Abu Bakar memberikan seluruh hartanya. Dan ketika Rasul SAW bertanya apa yang ditinggalkannya untuk isteri dan anaknya, Abu Bakar menjawab, “Cukuplah Allah dan Rasul-Nya yang menjadi penjaga diriku dan keluargaku.” Rasul pun memuji sikap tersebut.

Abu Bakar pun sering ditunjuk oleh Rasul untuk menggantikannya, termasuk menjadi imam shalat karena ia sakit. Bahkan, ketika Rasul wafat para sahabat bersepakat untuk menunjuk Abu Bakar sebagai penggantinya.

2. Umar bin Khattab (Jendral yang Tegas)

Khalifah kedua ini dikenal sebagai pribadi yang tegas dan kuat. Sebelum masuk Islam dia dikenal sebagai lawan tanpa tanding. Musuh-musuhnya sering kali mundur saat mengetahui yang akan diahadapi adalah Umar bin Khattab.

Saat umat Islam masih sedikit nabi pernah berdo’a agar Islam dikuatkan oleh sakah satu dari dua Umar, yaitu Umar bin Abdul Muthalib (Abu Jahal) atau Umar bin Khattab. Ternyata Allah memberikan Umar bin Khattab sebagi karunia pada umat Islam.

Ia juga dikenal sebagai jendralnya kaum muslim. Ia sangat pemberani dan tegas. Bahkan, saat dakwah Islam dilakukan secara sembunyi-sembunyi, ia justru usul agar dakwah Islam disampaikan secara terbuka.

3. Usman bin Affan (Pengusaha yang Dermawan)

Ia adalah khalifah rasyidin yang ketiga menggantikan Umar bin Khattab. Ia termasuk keluarga kaya raya dan dermawan. Ayahnya Affan bin Abdul ‘Ash bin Umayyah adalah seorang pembesar masyarakat jahiliah yang terpandang.

Usman mendapatkan julukan Dzunnurayni (dua cahaya) karena menikahi dua puteri nabi. Mereka adalah Ruqayyah dan Ummu Kultsum. Ia juga dikenal sebagai ekonom muslim pertama karena perhatiannya yang besar terhadap masalah umat.

Saat kamu muslim mengalami kesulitan untuk memperoleh air, setiba di Madinah Usman membeli sumur air milik seorang Yahudi bernama Raumah seharga 20 ribu dirham. Selain itu, ia pun menjadi orang yang membeli tanah untuk perluasan masjid Nabawi. Hal ini menyebabkan umat semakin banyak dan mudah untuk beribadah di masjid.

4. Ali bin Abi Thalib (Pemuda Pemberani dan Gerbang Ilmu)

Ia adalah genarasi muda pertama yang masuk Islam. Ia ditunjuk sebagai khalifah keempat menggantikan Usman bin Affan. Ia dikenal pula sebagai pemuda pemberani dan cerdas. Ia pula yang ditunjuk menggantikan rasul di kamar tidur saat melaksanakan hijrah ke Madinah.

Ali adalah sepupu Nabi Muhammad SAW sekaligus menantunya. Ia menikahi puteri rasul, Fatimah az Zahra. Dari pernikahan mereka lahirlah cucu nabi, yaitu Hasan dan Husain. Karena kecerdasannya, Ali dijuluki Bab Al ‘Ilm atau gerbangnya ilmu.

5. Zubair bin Awwam (Pahlawan Islam)

Dr. Abdurrahman Umairah dalam bukunya Tokoh-Tokoh yang Diabadikan dalam Alquran menjelaskan, Zubair bin Awwam adalah seorang pengawal Rasulullah SAW dan dikenal sebagai pahlawan yang gagah berani di medan perang. Ia termasuk golongan yang pertama masuk Islam dan salah seorang dari enam sahabat nabi yang ditunjuk Umar untuk memilih penggantinya.

Ayahnya adalah awwam bin Khuwailid yang tewas dalam perang Fijar. Sedangkan ibunya Shafiyah binti Abdul Muthalib bin Hisyam bin abdi Manaf, adalah bibi Nabi SAW. Isterinya, Asma binti Abu Bakar, adalah saudari isteri Nabi SAW, Aisyah binti Abu Bakar.

“Maka demi Tuhanmu mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan. Kemudian, mereka tidak merasa berkeberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS Annisa [4]: 65) Beberapa ahli tafsir menyatakan bahwa ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan sahabat Rasulullah SAW, Zubair bin Awwam.

6. Sa’ad bin Abi Waqqash (Ditolak oleh Ibunya)

Menurut beberapa ahli tafsir, Allah menurunkan Alquran surat Luqman ayat 14 – 15 berkaitan dengan Sa’ad bin Abi Waqqash. Ayat ini memerintahkan umat manusia untuk berbuat baik kepada orang tua meskipun mereka tidak mau menerima Islam.

Ayahnya adalah Malik bin Ahib dari bani Abdi Manaf. Ibunya adalah Himnah binti Sufyan bin Umayyah. Setelah ayahnya meninggal dunia, ibunya yang bersusah payah menafkahi dan mendidiknya bersama dengan saudaranya hingga datangnya Islam. Kemudian, mereka memilih jalan sendiri-sendiri. Sa’ad masuk Islam dan ibunya tetap menyembah berhala.

“Ya Sa’ad, aku mendengar kau telah meninggalkan agama nenek moyangmu. Aku bersumpah tidak akan seatap (serumah) denganmu lagi. Aku tidak akan makan dan minum hingga kau kafir terhadap agama Muhammad dan kembali kepada agama nenek moyangmu.”

7. Abu Ubaidah bin Jarrah (Berhadapan dengan Ayah Kandung)

Ia adalah seorang panglima perang yang cerita kemenangan dan kesuksesannya menjadi pembicaraan dunia. Sosoknya juga dikenal sebagai seorang yang tidak silau dengan gemerlapnya dunia dan menerjunkan dirinya ke dalam berbagai medan perang untuk mencari mati syahid. Dia juga seorang sahabat yang dapat dipercaya dan pernah dipilih oleh Rasulullah SAW menjadi guru di Najran.

Menurut beberapa ahli tafsir, suart Almujadalah ayat 22 diturunkan berkenaan dengan Abu Ubaidah bin Jarrah saat ia membunuh ayah kandungnya dalam Perang Badar. Ayahnya adalah pasukan kaum musyrikin. Saat terjadi perang anak dan ayah saling berhadapan dan Abu Ubaidah berhasil mengalahkan ayahnya.

8. Thalhah bin Ubaidillah (Perisai Rasulullah SAW)

Ia merupakan sahabat nabi yang berasal dari suku Quraisy. Nama lengkapnya adalah Thalhah bin Abdullah bin Usman bin Kaab bin Said.

Dalam buku Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah disebutkan bahwa Thalhah termasuk orang yang bijak, ulama kaum Quraisy, dan termasuk delapan orang yang pertama masuk Islam.

Bersama rasul ia ikut di perang uhud, perang hunain, dan perang tabuk. Ia adalah perisai Rasulullah. Saat berkecamuknya perang uhud, kondisi umat Islam kocar-kacir. Ini terjadinya karena ketidakdisiplinan umat Islam dalam menjaga pertahanan. Akibatnya, kemenangan yang sudah di depan mata menjadi sirna karena tergoda dengan harta rampasan perang. Kesempatan itulah yang dimanfaatkan kafir Quraisy untuk menyerang umat Islam dari sudut lain.

Dalam kondisi yang demikian, Thalhah berusaha melindungi Rasulullah SAW dari senjata orang kafir hingga tangannya luka-luka. “Thalhah dan Zubair, keduanya adalah tetanggaku di surge.” (HR At Tirmidzi) “Siapa yang ingin melihat seorang syahid berjalan di muka bumi hendaklah ia melihat Thalhah bin Ubaidillah.” (HR At Tirmidzi)

9. Sa’id bin Zaid (Ide Cemerlang)

Nama lengkapnya adalah Sa’id bin Zaid bin Amru bin Nufail Al Quraisy Al Adawi. Ia terkenal sebagai sosok sahabat dengan gagasan-gagasan yang cemerlang dan pemberani. Ia termasuk yang mula-mula masuk Islam. Ia pula yang menjadi faktor keislaman Umar bin Khattab.

Isterinya, Fatimah binti Khattab, merupakan saudara perempuan Umar. Sementara itu, umar juga menikah dengan saudara perempuan Said, yaitu Atikah. Selain itu, Sa’id berkesempatan mengikuti beberapa pertempuran yang disertai nabi, kecuali Perang Badar. Ia ikut dalam Perang Yarmuk, penaklukan negeri Syam dan sekitarnya, serta pengepungan kota Damaskus dan pembebasannya.

10. Abdurrahman bin Auf (Terpercaya di Langit dan di Bumi

Ia adalah seorang dari sahabat nabi yang terkenal. Ia merupakan salah seorang dari delapan orang pertama (As Sabiqun al awwalun) yang menerima Islam, yaitu dua hari setelah Abu Bakar as Shiddiq. Nama lengkapnya adalah Abdurrahman bin Auf bin Abdul Auf bin Abdul Harits.

Ia juga dikenal sebagai orang kaya yang dermawan. Ia banyak mendermakan hartanya untuk kepentingan Islam dan memerdekakan banyak budak. Nabi SAW bersbada, “Aku melihat Abdurrahman masuk surge dengan merangkak.” Mendengar berita gembira itu, ia langsung mendermakan satu kafilah dagang seraya berkata, “Kalau aku bisa masuk surga dengan berdiri, niscaya akan kulakukan.”

Rasul bersabda, “Abdurrahman bin Auf adalah orang terpercaya di langit dan orang terpercaya di bumi.” (HR Harits bin Usamah)

*Dikutip dari harian Republika, Ahad, 28 Februari 2010 dengan beberapa perubahan.

Sumber: http://abdikelana.blogdetik.com/2010/03/02/kisah-sahabat-nabi/

Seharusnya Kita Selalu Menangis

Oleh: Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari)

Pernahkah Anda menangis -dalam keadaan sendirian- karena takut siksa Allâh Ta’ala? Ketahuilah, sesungguhnya hal itu merupakan jaminan selamat dari neraka. Menangis karena takut kepada Allâh Ta’ala akan mendorong seorang hamba untuk selalu istiqâmah di jalan-Nya, sehingga akan menjadi perisai dari api neraka. Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:

“Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis karena takut kepada Allâh sampai air susu kembali ke dalam teteknya. Dan debu di jalan Allâh tidak akan berkumpul dengan asap neraka Jahannam”.[1]

Mengapa Harus Menangis?

Seorang Mukmin yang mengetahui keagungan Allâh Ta’ala dan hak-Nya, setiap dia melihat dirinya banyak melalaikan kewajiban dan menerjang larangan, akan khawatir dosa-dosa itu akan menyebabkan siksa Allâh Ta’ala kepadanya.

Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:

“Sesungguhnya seorang Mukmin itu melihat dosa-dosanya seolah-olah dia berada di kaki sebuah gunung, dia khawatir gunung itu akan menimpanya. Sebaliknya, orang yang durhaka melihat dosa-dosanya seperti seekor lalat yang hinggap di atas hidungnya,dia mengusirnya dengan tangannya –begini-, maka lalat itu terbang”.(HR. at-Tirmidzi, no. 2497 dan dishahîhkan oleh al-Albâni rahimahullâh)

Ibnu Abi Jamrah rahimahullâh berkata,

“Sebabnya adalah, karena hati seorang Mukmin itu diberi cahaya. Apabila dia melihat pada dirinya ada sesuatu yang menyelisihi hatinya yang diberi cahaya, maka hal itu menjadi berat baginya. Hikmah perumpamaan dengan gunung yaitu apabila musibah yang menimpa manusia itu selain runtuhnya gunung, maka masih ada kemungkinan mereka selamat dari musibah-musibah itu. Lain halnya dengan gunung, jika gunung runtuh dan menimpa seseorang, umumnya dia tidak akan selamat. Kesimpulannya bahwa rasa takut seorang Mukmin (kepada siksa Allâh Ta’ala -pen) itu mendominasinya, karena kekuatan imannya menyebabkan dia tidak merasa aman dari hukuman itu. Inilah keadaan seorang Mukmin, dia selalu takut (kepada siksa Allâh-pen) dan bermurâqabah (mengawasi Allâh). Dia menganggap kecil amal shalihnya dan khawatir terhadap amal buruknya yang kecil”.
(Tuhfatul Ahwadzi, no. 2497)

Apalagi jika dia memperhatikan berbagai bencana dan musibah yang telah Allâh Ta’ala timpakan kepada orang-orang kafir di dunia ini, baik dahulu maupun sekarang. Hal itu membuatnya tidak merasa aman dari siksa Allâh Ta’ala .

Allâh Ta’ala berfirman yang artinya:

“Dan begitulah adzab Rabbmu apabila Dia mengadzab penduduk negeri-negeri yang berbuat zhalim. Sesungguhnya adzab-Nya sangat pedih lagi keras. Sesungguhnya pada peristiwa itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang takut kepada adzab akhirat. Hari Kiamat itu adalah suatu hari dimana manusia dikumpulkan untuk (menghadapi)-Nya, dan hari itu adalah suatu hari yang disaksikan (oleh segala makhluk). Dan Kami tiadalah mengundurkannya, melainkan sampai waktu yang tertentu. Saat hari itu tiba, tidak ada seorang pun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang bahagia. Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih)”.
(Qs Hûd/11:102-106)

Ketika dia merenungkan berbagai kejadian yang mengerikan pada hari Kiamat, berbagai kesusahan dan beban yang menanti manusia di akhirat, semua itu pasti akan menggiringnya untuk takut kepada Allâh Ta’ala al-Khâliq .

Allâh Ta’ala berfirman yang artinya:

“Hai manusia, bertakwalah kepada Rabbmu. Sesungguhnya kegoncangan hari Kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat). (Ingatlah), pada hari (ketika) kamu melihat kegoncangan itu, semua wanita yang menyusui anaknya lalai terhadap anak yang disusuinya, dan semua wanita yang hamil gugur kandungan. Kamu melihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk. Akan tetapi adzab Allâh itu sangat keras”.
(Qs al-Hajj/22:1-2)

Demikianlah sifat orang-orang yang beriman. Di dunia, mereka takut terhadap siksa Rabb mereka, kemudian berusaha menjaga diri dari siksa-Nya dengan takwa, yaitu melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Maka, Allâh Ta’ala memberikan balasan sesuai dengan jenis amal mereka. Dia memberikan keamanan di hari Kiamat dengan memasukkan mereka ke dalam surga-Nya.

Allâh Ta’ala berfirman yang artinya:

“Dan sebagian mereka (penghuni surga-pent) menghadap kepada sebagian yang lain; mereka saling bertanya. Mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami dahulu sewaktu berada di tengah-tengah keluarga, kami merasa takut (akan diadzab)”. Kemudian Allâh memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka. Sesungguhnya kami dahulu beribadah kepada-Nya. Sesungguhnya Dia-lah yang melimpahkan kebaikan lagi Maha Penyayang”.
(Qs ath-Thûr/52:25-28)

Ilmu Adalah Sebab Tangisan Karena Allâh Ta’ala

Semakin bertambah ilmu agama seseorang, semakin tambah pula takutnya terhadap keagungan Allâh Ta’ala.

Allâh Ta’ala berfirman yang artinya:

“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak, ada yang bermacam-macam warna (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allâh di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah Ulama. Sesungguhnya Allâh Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”.
(Qs Fâthir/35:28)

Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Surga dan neraka ditampakkan kepadaku, maka aku tidak melihat kebaikan dan keburukan seperti hari ini. Seandainya kamu mengetahui apa yang aku ketahui, kamu benar-benar akan sedikit tertawa dan banyak menangis”.

Anas bin Mâlik radhiyallâhu'anhu –perawi hadits ini- mengatakan, “Tidaklah ada satu hari pun yang lebih berat bagi para Sahabat selain hari itu. Mereka menutupi kepala mereka sambil menangis sesenggukan”.
(HR. Muslim, no. 2359)

Imam Nawawi rahimahullâh berkata, “Makna hadits ini, ‘Aku tidak pernah melihat kebaikan sama sekali melebihi apa yang telah aku lihat di dalam surga pada hari ini. Aku juga tidak pernah melihat keburukan melebihi apa yang telah aku lihat di dalam neraka pada hari ini. Seandainya kamu melihat apa yang telah aku lihat dan mengetahui apa yang telah aku ketahui, semua yang aku lihat hari ini dan sebelumnya, sungguh kamu pasti sangat takut, menjadi sedikit tertawa dan banyak menangis”.(Syarh Muslim, no. 2359)

Hadits ini menunjukkan anjuran menangis karena takut terhadap siksa Allâh Ta’ala dan tidak memperbanyak tertawa, karena banyak tertawa menunjukkan kelalaian dan kerasnya hati.

Lihatlah para Sahabat Nabi radhiyallâhu'anhum, begitu mudahnya mereka tersentuh oleh nasehat! Tidak sebagaimana kebanyakan orang di zaman ini. Memang, mereka adalah orang-orang yang paling lembut hatinya, paling banyak pemahaman agamanya, paling cepat menyambut ajaran agama. Mereka adalah Salafus Shâlih yang mulia, maka selayaknya kita meneladani mereka.
(Lihat Bahjatun Nâzhirîn Syarh Riyâdhus Shâlihin 1/475; no. 41)

Seandainya kita mengetahui bahwa tetesan air mata karena takut kepada Allâh Ta’ala merupakan tetesan yang paling dicintai oleh Allâh Ta’ala, tentulah kita akan menangis karena-Nya atau berusaha menangis sebisanya. Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjelaskan keutamaan tetesan air mata ini dengan sabda Beliau:

“Tidak ada sesuatu yang yang lebih dicintai oleh Allâh daripada dua tetesan dan dua bekas. Tetesan yang berupa air mata karena takut kepada Allâh dan tetesan darah yang ditumpahkan di jalan Allâh. Adapun dua bekas, yaitu bekas di jalan Allâh dan bekas di dalam (melaksanakan) suatu kewajiban dari kewajiban-kewajiban-Nya”.

Namun yang perlu kita perhatikan juga bahwa menangis tersebut adalah benar-benar karena Allâh Ta’ala, bukan karena manusia, seperti dilakukan di hadapan jama’ah atau bahkan dishooting TV dan disiarkan secara nasional. Oleh karena itu Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjanjikan kebaikan besar bagi seseorang yang menangis dalam keadaan sendirian. Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:

“Tujuh (orang) yang akan diberi naungan oleh Allâh pada naungan-Nya di hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. ...... (di antaranya): Seorang laki-laki yang menyebut Allâh di tempat yang sepi sehingga kedua matanya meneteskan air mata”.
(HR. al-Bukhâri, no. 660; Muslim, no. 1031)



Hari Kiamat adalah hari pengadilan yang agung. Hari ketika setiap hamba akan mempertanggung-jawabkan segala amal perbuatannya. Hari saat isi hati manusia akan dibongkar, segala rahasia akan ditampakkan di hadapan Allâh Yang Maha Mengetahui lagi Maha Perkasa. Maka kemana orang akan berlari? Alangkah bahagianya orang-orang yang akan mendapatkan naungan Allâh Ta’ala pada hari itu. Dan salah satu jalan keselamatan itu adalah menangis karena takut kepada Allâh Ta’ala.

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullâh berkata,

“Wahai saudaraku, jika engkau menyebut Allâh Ta’ala, sebutlah Rabb-mu dengan hati yang kosong dari memikirkan yang lain. Jangan pikirkan sesuatu pun selain-Nya. Jika engkau memikirkan sesuatu selain-Nya, engkau tidak akan bisa menangis karena takut kepada Allâh Ta’ala atau karena rindu kepada-Nya. Karena, seseorang tidak mungkin menangis sedangkan hatinya tersibukkan dengan sesuatu yang lain. Bagaimana engkau akan menangis karena rindu kepada Allâh Ta’ala dan karena takut kepada-Nya jika hatimu tersibukkan dengan selain-Nya?".



Oleh karena itu, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:


“Seorang laki-laki yang menyebut Allâh di tempat yang sepi”, yaitu hatinya kosong dari selain Allâh Ta’ala, badannya juga kosong (dari orang lain), dan tidak ada seorangpun di dekatnya yang menyebabkan tangisannya menjadi riyâ’ dan sum’ah. Namun, dia melakukan dengan ikhlas dan konsentrasi”.
(Syarh Riyâdhus Shâlihîn 2/342, no. 449)



Setelah kita mengetahui hal ini, maka alangkah pantasnya kita mulai menangis karena takut kepada Allâh Ta’ala.

Wallâhul Musta’ân.

(Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIII/Muharram 1431H/Januari 2010M)

Shalat Sebagai Ibadah dan Upaya Menggapai Ridha Allah



Salat adalah ibadah penentu yang nantinya menentukan seluruh amal ibadah kita nantinya di akhirat layak diterima oleh Allah atau tidak. Dalam suatu hadis disebutkan, bahwa ibadah seorang hamba yang pertama kali ditanyakan oleh Allah adalah salatnya.

Proses diperintahkannya salat berbeda dengan ibadah-ibadah yang lain. Kalau ibadah yang lain diperintahkan oleh Allah melalui Jibril, tetapi untuk salat Allah merasa perlu menciptakan momen khusus. Allah merasa perlu memanggil Nabi Muhammad secara langsung menghadap ke haribaan Allah di Sidratul Muntaha untuk menerima perintah Allah berupa salat.

Hanya salat yang disebut secara jelas oleh Allah akan mampu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, seperti yang termaktub di dalam Alquran:

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Ankabuut: 45)

Ayat tersebut jelas memberitahukan kepada kita, bahwa salat dijamin akan memberikan kedamaian dan mencegah kita dari peilaku-perilaku yang tidak baik. Jika kita jujur melihat diri kita dan kehidupan di sekitar kita, ternyata banyak sekali perbedaan dengan apa yang dijanjikan oleh Allah tersebut. Ada orang yang salat sangat khusyu’, tetapi maksiatnya juga khusyu’. Salatnya rajin, korupsinya juga rajin. Sehingga janji Allah tersebut layak kita pertanyakan, di manakah salahnya? Mengenai hal ini, ada dua kemungkinan: Pertama, Allah ingkar janji. Kita sudah salat, ternyata masih saja melakukan maksiat. Apakah Allah yang memang ingkar janji, atau kemungkinan yang kedua, yaitu salat kita tidak tepat sasaran. Dapat dipastikan, bahwa kemungkinan pertama tersebut pasti salah, apalagi Allah sudah memberikan janji bahwasanya Dia takkan melupakan apa yang dijanjikan-Nya seperti yang termaktub di dalam Alquran:

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengumpulkan manusia untuk (menerima pembalasan pada) hari yang tak ada keraguan padanya”. Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji. (Q.S. Ali Imraan: 9)

Kalau sudah seperti itu, maka yang sudah pasti itu adalah kemungkinan yang kedua, yaitu salat yang kita lakukanlah itu yang patut dipertanyakan, apakah itu betul-betul salat, atau tidak lebih dari sekedar melakukan salat, mengerti ataupun tidak mengerti, kita tetap melakukannya.

Rasulullah ternyata memberikan tips bagaimana bisa menciptakan salat yang salat itu nantinya mampu menggapai ridha Allah, yang kemudian disarikan oleh para ulama, salah satunya yang disarikan oleh Imam Muhammad ibn Muhammad Al-Ghazali. Bahwasanya salat itu akan mencapai sasarannya dan dijamin akan mendapatkan janji Allah apabila di dalamnya ada beberapa unsur:

Pertama, salat itu akan terlandasi dengan perasaan khusyu’ khuduril qalbi. Maksudnya, bahwa orang yang salat itu harus mengosongkan hatinya dari segala macam persoalan-persoalan, mempersetankan semua persoalan-persoalan dunia, menolak persoalan-persoalan lain selain daripada hanya mengingat Allah.

Sebenarnya kita mengetahui bahwa salat itu harus khusyu’. Tetapi bagaimanakah menciptakan dan menghadirkan kekhusyu’an di dalam salat itu? Rasulullah mengatakan, bahwa ada satu penyakit, tetapi juga menjadi obat yang ini juga sangat terkait erat dengan kekhusyu’an ketika kita salat, yaitu himma.

Himma adalah kecenderungan hati terhadap suatu persoalan. Sehingga kalau kita ingin menciptakan kekhusyu’an di dalam salat, maka kita harus pandai-pandai menguasai himma yang ada di dalam otak dan pikiran kita. Himma adalah perhatian yang serius dan seksama disertai tekad yang kuat untuk mencapai cita-cita, yang ini harus kita tundukkan. Karena pada hakikatnya, hati yang mengikuti himma, sementara hati sendiri tidak pernah hadir, kecuali sesuai dengan himma yang berada dan menguasai hati tersebut. Ini adalah watak dasar dari hati.

Jadi, kalau hati tidak hadir di dalam salat, bukan berarti hati itu menganggur, tetapi ia pasti sedang melayang di seputar urusan yang lebih menarik perhatian yang di situlah tekanan dan perhatian dari himma tersebut. Karena itulah, tak ada cara untuk menghadirkan hati, kecuali memalingkan himmanya kepada salat yang sedang dilakukan tersebut. Akan tetapi himma akan terlalu sulit berpaling ke sana sebelum tersadari bahwa tujuan hidup manusia hanya tergantung kepada salatnya. Ketika kita mengangkat takbir, maka buanglah semua persoalan yang sedang kita hadapi. Sehingga dengan begitu salat kita akan menjadi salat yang bermakna.

Kedua, salat itu juga harus diwarnai dengan tafaaqun, yaitu pemahaman yang mendalam dan mendetail tentang apa yang dilakukan di dalam salat itu. Artinya, ada upaya hati untuk memahami makna suatu ucapan yang diucapkan ketika salat dan perbuatan yang dilakukan ketika salat. Salat itu adalah ucapan dan perkatan serta perbuatan yang diawali dengan takbir ditutup dengan taslim. Karena itulah, pelaku salat harus memahami mengapa dia ruku’, sujud, dan sebagainya.

Hal ini hanya akan berhasil jika kita berhasil meninggalkan sesuatu yang menyebabkan pikiran-pikiran kita itu pecah. Jangan biarkan pikiran-pikiran kita itu melayang. Begitu ada tanda-tanda mau keluar dari koridor-koridor keinginan dan ingatan pada salat, maka cepatlah enyahkan itu.

Pada masa Rasulullah, di antara sahabat yang paling baik salatnya itu adalah Sayyidina Ali ibn Abi Thalib. Ketika usai mengikuti suatu peperangan, ternyata Ali luka parah. Ia terkena panah pada bagian belakangnya. Panah tersebut sangat sulit sekali dicabut, karena tentunya akan begitu sakitnya jika itu dilakukan. Fatimah Azzahra (istrinya–putri Rasulullah) menyarankan kepada orang-orang yang akan mencabut panah yang menancap pada tubuh Sayyidina Ali itu agar mencabut panah tersebut ketika Sayyidina Ali sedang salat.

Ketika Sayyidina Ali akan salat, orang-orang pun meminta izin kepadanya untuk mencabut panah tersebut ketika ia sedang salat dan kemudian diizinkan oleh Sayyidina Ali. Beliau pun salat. Setelah salat, Sayyidina Ali pun menanyakan kepada orang-orang yang akan mencabut panah tersebut, mengapa panah tersebut belum dicabut. Ternyata panah tersebut sudah dicabut ketika beliau sedang salat, dan beliau tidak merasakan itu karena begitu khusyu’nya salat yang dilakukannya itu.

Rasulullah menyatakan, bahwa naza’ (saat-saat dicabutnya nyawa ketika akan meninggal dunia) begitu luar biasa sakitnya. Kalau kita tidak mendapatkan pertolongan dari Allah, maka naza’ tersebut takkan pernah bisa tertanggungkan. Tetapi, Rasulullah pernah menjanjikan, bahwasanya saat-saat naza’ seorang mukmin akan sama mudah dan sama tidak sakitnya seolah-oleh kita menarik rambut dari tepung. Rasa sakitnya naza’ itu tetap ada, tetapi ada satu hal yang mampu meredam kesakitan tersebut. Apakah hal yang dimaksud?

Suatu masa ada seorang bijak yang merenung panjang, di manakah penjelasan Allah yang membenarkan penjelasan Rasulullah bahwa roh seorang muslim itu takkan merasakan kesakitan? Beliau mencari-cari hal tersebut dari Alquran, tetapi usahanya tersebut tetap tak mendapatkan hasil. Hingga ia hampir setengah putus asa, lalu ia pun bermimpi bertemu Rasulullah. Di dalam mimpinya tersebut, Rasulullah menyuruhnya mencari jawaban tersebut di Surah Yusuf. Setelah terbangun, ia pun mencari jawaban tersebut di Surah Yusuf. Setelah lama merenung, ia pun memahami apa yang dimaksudkan oleh Rasulullah di dalam mimpinya tersebut.

Konon, Nabi Yusuf adalah orang yang sangat tampan, yang itu mungkin hanya Rasulullah yang mampu menandingi, bahkan melebihi tampan dan rupawannya Nabi Yusuf. Pada riwayat Nabi Yusuf diceritakan, bahwa perempuan-perempuan yang diundang oleh Zulaikha begitu terkesima ketika melihat wajah Nabi Yusuf, sehingga mereka tidak sadar sudah melukai jari-jari mereka sendiri ketika memotong buah yang ada di tangan mereka masing-masing.

Ini adalah analogi, bahwa kesakitan-kesakitan tersebut bisa sirna ketika kita menemukan suatu kenikmatan yang lain. Begitu juga ketika kita menghadapi naza’, maka naza’ itu takkan ada artinya. Rasulullah menyampaikan, bahwa seorang muslim rohnya takkan pernah keluar sebelum ditunjukkan oleh Allah tempatnya di surga. Sehingga apalah artinya kesakitan yang luar biasa itu dibandingkan dengan kenikmatan surga. Begitu juga orang-orang kafir yang takkan pernah dicabut rohnya kecuali ditunjukkan dahulu tempatnya di neraka.

Suatu kesakitan akan hilang ketika melihat kenikmatan-kenikmatan. Sehingga bagi Sayyidina Ali yang merasakan nikmatnya salat, maka apalah artinya dicabutnya panah yang menancap di tubuhnya itu. Kita mungkin tak pernah merasakan nikmatnya salat. Yang ada kemudian adalah beban. Kita merasa terbebani dengan salat yang kita lakukan itu.

Ketiga, salat itu harus tercermin takzim (penghormatan) kita kepada Allah. Tetapi yang terjadi kemudian, salat kita itu adalah salat otomatis, salat yang hanya dihapalkan saja. Persoalannya adalah bagaimana kita menghadirkan rasa takzim ketika salat itu kepada Allah sehingga akan melahirkan kenikmatan-kenikmatan?

Ada dua hal yang bisa dilakukan untuk mampu menghadirkan penghormatan (takzim) kepada Allah di dalam salat tersebut: Pertama, kita harus hadirkan ma’rifatillah. Kita harus membayangkan bahwa hanya Allah lah yang menciptakan semuanya, memiliki semuanya, Dia lah yang Maha Kuasa, yang memiliki surga dan neraka, bahkan juga memiliki jiwa kita ini. Kedua, memahami dan mengakui kehinaan diri kita, sehingga kita takkan mampu melakukan apapun, takkan mampu menghasilkan apapun, kecuali dengan pertolongan Allah.

Kalau hal ini betul-betul dilakukan, maka yakinlah, takzim itu akan hadir di dalam salat kita. Persoalannya, kita tak pernah merasakan bahwa diri kita ini memang hina. Orang yang tidak merasa hina, maka itulah orang yang hina. Sedangkan orang yang merasa dirinya yang paling hina, maka itulah orang yang paling mulia. Jika kita menyadari kehinaan diri kita ini, maka kitapun akan menyadari bahwa diri ini takkan pernah menjadi orang terhormat kecuali dengan pertolongan Allah. Sehingga, jika dua hal ini bisa kita hadirkan di dalam salat kita, maka yakinlah, takzim kepada Allah juga akan hadir, yang konsekuensinya kita akan mendapatkan kenikmatan ketika kita melakukan salat.

Keempat, al-hayba, yaitu ketakutan, tetapi ketakutan yang berangkat dan disertai oleh pengagungan kita kepada Allah. Sehingga sangat berbeda dengan ketakutan ketika kita bertemu binatang buas. Ketakutan kita ketika bertemu binatang buas akan menjadikan kita lari dari binatang tersebut. Tetapi ketakutan kepada Allah yang berangkat dari pengagungan kepada Allah akan membuat kita menjadi musytaq (rindu), rindu, dan rindu sekali untuk hadir dan bertemu dengan Allah. Kerinduan kita untuk bertemu dengan Allah akan menyita seluruh perhatian kita.

Hayba ini akan bisa digapai dengan menghadirkan penyebabnya, yaitu mengetahui dan menyadari kekuasaan dan keperkasaan Allah. Kalau Dia sudah berkehendak, maka ”kun fayakun”, tak ada satupun yang bisa menghalangi-Nya.

Kelima, ar-raja’ (harapan). Kita landasi salat kita itu dengan harapan. Biasanya, harapan ini yang melahirkan ketekunan kita. Ketika kita sangat berharap, maka kita pun akan tekun melakukannya. Semakin kita berharap, maka kitapun semakin melakukannya. Kalau harapan ini betul-betul menguasai nurani dan hati kita, maka salat kita akan menjadi hidup.

Ar-raja’ ini sebetulnya terkait dengan poin-poin sebelumnya. Bahkan poin-poin sebelumnya itulah yang melahirkan raja’. Ketika seseorang merasa takut kepada Allah, maka ia akan raja’, berharap perlindungan dari kemarahan dan siksa Allah. Ketika seseorang mengagungkan dan menghormati Allah, maka ia akan berharap mendapatkan anugerah, kemuliaan, dan pertolongan di sisi-Nya. Penyebab yang bisa diharapkan menimbulkan perasaan raja’ adalah menyadari dan mengetahui luthfullah, bahwasanya Allah itu sangat lemah-lembut, sangat kasih sayang, sangat dermawan. Karena itulah kita berharap, berharap, dan berharap, dan jangan putus asa. Perasaan bahwa salat kita itu tidak benar, maka itu salah. Orang yang tidak mempunyai perasaan raja’, orang yang ragu-ragu, orang yang tidak percaya bahwasanya Allah akan menerima salatnya itu, maka itulah orang yang kafir.

Di dalam Alquran dinyatakan:

Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”. (Q.S. Yuusuf: 87)

Walaupun salat kita belum sempurna, maka yakinlah Allah maha segalanya. Walaupun kita selalu berusaha memperbaikinya, tidak cukup dengan apa yang sudah kita lakukan. Pengertian raja’ bukan berarti kita sudah merasa cukup.

Keenam, al-hayaa’, yaitu memiliki perasaan malu. Perasaan malu atas kelalaian dan ketidakmampuan kita mengimbangi kebaikan Allah. Apa yang sudah kita lakukan tentunya tak ada artinya dibandingkan dengan apa yang telah diberikan Allah kepada kita. Untuk menghadirkan perasaan malu ini, sehingga jika perasaan tersebut sudah hadir di dalam salat, maka kita hanya ingat kepada Allah, memohon maaf kepadanya, ternyata kita tak mampu membalas kebaikan yang telah diberikan-Nya kepada kita, sehingga kita merasa malu kepada-Nya akan hal tersebut.

Kiat untuk menghadirkan rasa malu ini adalah dengan cara kita harus mampu menghadirkan keyakinan atas hinanya apa yang kita lakukan dan atas banyaknya kebaikan-kebaikan Allah kepada kita. Nyaris setiap tarikan nafas kita melakukan kehinaan dan kemaksiatan. Sementara itu, setiap detik kita menikmati anugerah Allah. Dan ini akan lebih sempurna lagi jika dilandasi dengan kesadaran akan kekurangan dan cacat jiwa kita, serta tidak mampunya kita melaksanakan amanat yang kita terima.

Itulah perangkat-perangkat yang harus dipenuhi, yang kalau dipikirkan lebih mendalam lagi, bahwa semuanya itu bermuara kepada khusyu’. Sehingga tidak salah jika para ulama menyebutkan, bahwa khusyu’ adalah rohnya salat.

Bandingkanlah salat dengan ibadah-ibadah yang lain. Kalau kita jujur, maka tak ada ibadah yang mampu menandingi keutamaan salat. Sebut saja misalkan zakat, puasa, ataupun haji. Zakat pada dasarnya adalah upaya perlawanan terhadap nafsu yang cenderung mencintai harta dunia. Puasa juga cenderung mematahkan kekuasaan hawa nafsu yang notabenenya sering digunakan sebagai alat oleh setan untuk menghancurkan manusia. Puasa, zakat, dan haji sekalipun bisa terealisasi hikmah dan tujuannya tanpa kehadiran hati. Zakat yang kita lakukan tetap sah, walaupun kita melakukannya sambil mengigau. Puasa kita tetap sah, walaupun dari subuh kita tidur hingga maghrib baru kita bangun. Bandingkanlah dengan salat.

Ternyata salat tidak bisa kita lakukan seperti itu. Salat tak bisa dilakukan tanpa adanya kehadiran hati. Karena salat adalah bacaan, di samping juga pekerjaan (seperti ruku’ dan sujud), zikir, dan bacaan-bacaan lainnya. Zikir adalah ingatan atau dialog dan munajat antar kita yang salat ini dengan Allah. Kita langsung berhadapan dengan Allah. Sehingga hanya ada dua pilihan ketika orang sedang salat, ketika ia melafalkan bacaan-bacaan salat itu apakah ia sedang berdialog dengan Allah, ataukah hanya sekedar ucapan berupa lafal-lafal yang tidak ada kesannya sama sekali. Sementara ucapan itu adalah ingkapan dari apa yang ada di dalam hati. Jika kita berbicara (berucap) yang itu bukan berasal dari dalam hati, maka itu sama saja dengan mengigau.

Ketika ada yang mengucapkan terima kasih yang ucapan tersebut diucapakan ketika sedang tertidur (mengigau), maka apakah ucapan tersebut layak disebut sebagai ucapan terima kasih? Tentunya tidak.

Ketika kita duduk di antara dua sujud, maka ada doa yang kita ucapkan yaitu: Rabbighfirlii warhamnii wajburnii warfa’nii warzuqnii wahdinii wa’aafinii wa’fuannii (Ya Allah, ampunilah dosaku, belas kasihanilah aku, dan cukupkanlah segala kekurangan, dan angkatlah derajat kami, dan berilah rizqi kepadaku, dan berilah aku petunjuk, dan berilah kesehatan kepadaku, dan berilah ampunan kepadaku).

Tapi semua itu diucapkan tanpa adanya kehadiran hati, maka apakah ini layak dinamakan sebagai doa?

Ketika kita ruku’, tetapi tidak mengerti dan tidak menyadari bahwa ruku’ tersebut terhadap siapa. Apakah ruku’ tersebut terhadap Allah atau terhadap tembok yang ada di depannya? Inilah ketika tak adanya kehadiran hati dalam setiap tindakan salat yang kita lakukan. Ketika tak adanya kehadiran hati dalam salat kita, maka bagaimanakah mungkin salat kita tersebut akan mampu meredam dari segala kekejian dan kemungkaran.

Salat itu pada dasarnya adalah zikir, mengingat kepada Allah. Di dalam Alqiran disebutkan:

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (Q.S. Thaahaa: 14)

Sabda Rasulullah juga memperkuat apa yang dinyatakan oleh Allah, yaitu:
Bahwasanya diwajibkannya salat, diperintahkan haji, diperintahkan thawaf, diwajibkan untuk mengerjakan manasik, semata-mata untuk mengingat Allah. Sehingga ketika seseorang melakukan perintah-peritnah tersebut, sementara hatinya kosong tentang siapa yang memerintahkan tersebut, maka apalagi yang tersisa dari pekerjaan yang dilakukannya itu? (Al-Hadits)

Tujuan satu-satunya dari salat adalah zikir kepada Allah. Kalau hati sudah tidak lagi mengingat Allah (zikir), maka apalah lagi artinya dari salat itu?

Rasulullah berpesan, kalau sedang salat, maka jadikanlah salat tersebut sebagai salat perpisahan.

Dari apakah perpisahan yang dimaksud? Yaitu dari segala macam persoalan. Ketika akan salat, maka enyahkanlah semua persoalan-persoalan yang ada. Selamat tinggal semuanya, selamat tinggal kekasihku, selamat tinggal anakku, selamat tinggal suamiku, selamat tinggal istriku, aku akan menjumpai kekasihku yang abadi.

Inilah yang dilakukan oleh Rabi’atul Adawiyah, yang juga merupakan implementasi dari upayanya mencontoh Sayyidatuna Aisyah dan Rasulullah. Ketika Rasulullah bangun di tengah malam, maka ditanya oleh Aisyah, ”Ya Rasululah, hendak ke manakah engkau?”

Dijawab Rasulullah, ”Ya Aisyah, sudah lama aku bercumbu dengan engkau. Sekarang izinkan dan perkenankanlah aku untuk bercumbu dengan kekasih abadiku.”

Begitu Rasulullah menjawab seperti itu, lalu Aisyah pun berkata, ”Kalau begitu, aku pun juga akan bercumbu dengan kekasih abadiku.”

Maka kedua-duanya salat tak berhenti sampai Bilal azan Shubuh.

Inilah karena konsep menjadikan salat sebagai perpisahan sudah mendarah daging. Dan ini diperkuat oleh Alquran pada Surah Al-Insyiqaq ayat 6 yang berbunyi:

Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya. (Q.S. Al-Insyiqaaq: 6)

Artinya, bahwasa ketika kita mengucapkan selamat tinggal dan perpisahan pada seluruh apa yang ada ini, karena kita akan menuju ke satu tujuan, yaitu akan menjumpai Allah, dan menurut ayat ini, kita pasti akan bertemu dengan Allah.

Mudah-mudahan kita menjadi orang-orang yang mulaaqiih, yaitu orang yang bertemu dengan Allah, dengan kiat-kiat yang ditunjukkan oleh Rasulullah. Sehingga pada gilirannya, minimal pada saat naza’ nanti kita takkan pernah merasakan sakit. Bahkan lebih dari itu kita akan selalu dihantarkan untuk menuju ke surga Allah, beraudiensi dengan-Nya. []

Disarikan dari Ceramah Ahad yang disampaikan oleh Dr H.M. Masyhoeri Naim M.A. pada tanggal 22 Februari 2009 di Masjid Agung Sunda Kelapa-Jakarta. Transkriptor: Hanafi Mohan.

Sumber: http://abdullah-syauqi.cybermq.com/post/detail/5368/-menggapai-ridha-allah

Selasa, 27 Juli 2010

Menebar Sedekah dengan Cinta



Oleh: Nurrahman Effendi

Tebarlah sedekah atas dasar cinta yang tulus. Dia akan berbuah kasih sayang dan lebih berkah. Rasulullah saw menekankan bahwa sedekah yang paling afdhal adalah untuk kelurga kita yang paling membutuhkan. Banyak keutamaan yang terkandung di balik sedekah yang demikian itu.
Allah akan memberikan reward khusus bagi mereka yang bersedekah tanpa menyinggung perasaan orang yang menerimnay, seperti yang termaktub dalam surat Al-Baqara ayat (262). “Orang yang menyedekahkan hartanya di jalan Allah, kemudian tidak mengiringi apa yang disedekahkannya itu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak mereka bersedih hati.”

Saya akan menceritakan pengalaman saya pribadi. Satu hari lagi batas akhir pembayaran uang kuliah saya waktu itu. Uang yang saya pegang waktu itu pas dengan besarnya uang SPP yang harus saya bayarkan. Kakak tertua saya menelepon dari kampung, mengatakan tidak ada lagi uang untuk biaya adik saya yang baru masuk di IAIN Imam Bonjol, Padang. Tanpa ragu, saya bagi dua uang itu sebagiannya saya transfer ke rekening kakak saya itu.
Demi Allah, hari itu juga saya dapat ganti dari seorang teman yang meminjamkan uang untuk menutupi kekurangan SPP saya. Tidak hanya itu, empat hari kemudian saya dihubungi panitia bahwa tulisan saya masuk sebagai pemenang. Dan hadiah sayembara penulisan itu belasan kali lipat dari uang yang saya sedekahkan. Inilah bukti kemahapemurahan Allah. Tidak akan ada yang sia-sia setiap rupiah yang kita sedekahkan.

Demi mencapai tingkatan ikhlas, Rasulullah saw menganjurkan sedekah tidak hanya kepada anggota keluarga yang begitu dekat dan amat kita cintai. Namun juga kepada anggota keluarga yang tidak begitu baik hubungannya dengan kita. Mungkin ada permasalahan pribadi yang membekas di hati Anda dengannya, yang kemudian berbuntut tidak saling menghargai dan mencintai. Terciptalah jarak yang kaku, hubungan yang dingin, miskin tegur sapah. Terlepas dari semua dasar permasalahan itu, Rasulullah saw menyarankan Anda untuk memperbaiki keretakan dan kebekuan itu dengan terlebih dahulu mengulurkan sedekah atau bantuan kepadanya. Inilah sedekah yang paling utama. Yakinlah, inilah sedekah yang utama dan penuh berkah.

Sedekah yang paling utama adalah yang diberikan kepada keluarga dekat yang bersikap memusuhi (HR Thabrani dan Abu Daud).

Penulis Buku : The Power of Wisdom Kitab Hikmah Buah Keimanan (Grafindo, 2008)

Syukurilah Lautan Nikmat Allah



Oleh: Joni Lis Efend


“Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menghitungnya.”
(QS. Ibrahim: 34)

Berbahagilah atas segala nikmat yang telah Allah anugerahkan kepada kita. Semua yang ada pada diri kita, sungguh tak akan sanggup kita menyebutkan satu per satu apalagi mengukur kadar kegunaannya untuk mendukung kehidupan kita.

Berapa volume oksigen per menit yang masuk ke dalam paru-paru kita, yang kemudian diangkut darah ke seluruh tubuh yang digunakan untuk pembakaran energi sehingga mampu menupang aktivitas metabolisme tubuh dan gerak anggota badan. Duhai sekiranya jantung Anda berhenti berdetak tiga detik saja, orang-orang akan datang mengkafani, menshalatkan dan mengantarkan jenazah Anda ke pemakaman. Betapa tak sanggup kita mengukur sampai batas mana nikmat mata, yang menjadi jendela terindah antara kita dengan dunia sekitar. Dengan mata, kita mampu menikmati aneka warna bunga, hijau rerumputan, taburan kerlip bintang-bintang di langit malam tanpa awan, menyaksikan rupa lengkung pelangi yang menjadi perisai tujuh warna yang aduhai dan indahnya bulu-bulu burung dan binatang peliharaan.

Sekiranya Allah menarik nikmat penciuman hidung, tentu kita tidak akan mampu mendeteksi harumnya melati, lembutnya wangi parfum, nikmatnya aroma makanan. Selera kita akan hambar, sensitifitas kita pada ruangan yang berpengharum lavender tak terasa dan yang kita rasakan hanya kedataran. Begitu juga indra peraba, halus kasarnya permukaan bumi Allah dan benda-benda yang kita punyai. Alangkah tak beruntungnya kita ketika tak mampu merasakan lembutnya belaian kasih orang-orang tercinta lantaran indra peraba kita lagi bermasalah.
Lalu, nikmat Allah yang mana lagi yang sanggup kita dustakan?
Ketika pikiran dan akal kita tak lagi bekerja normal, alamat kesia-siaan hidup akan mendera kita saban hari. Kerja tubuh tak stabil dan seimbang, menyebabkan kegoncangan emosi dan jiwa. Berapa banyak orang-orang yang mendekam di ruangan pengap berjeruji ketika Allah menarik nikmat waras pada akal pikirannya. Derajat manusianya, orang-orang tak menganggapnya penting karena hampir tak mampu melakukan komunikasi verbal yang layak. Kadang-kadang dia menangis tersedu-sedu, dalam detik yang lain terbahak sejadi-jadinya lalu mengoceh tak tentu ujung pangkal. Bayangkanlah, seperti apa diri kita ketika nikmat waras itu dicabut dan kita menjadi salah satu penghuni kamar berjeruji rumah sakit jiwa.

Biliunan sel syaraf otak kita, bekerja miliaran kali lebih canggih dan cepat daripada komputer sesuper hebat apapun, yang mengatur segala fungsi kerja organ tubuh. Otak kita mampu mengatur tempo dan keseimbangan anggota tubuh, mengendalikan kerja emosi, seni, intelegensi, dan kecapakan sosial, serta mampu menyadari dan mengidentifikasi personalitas kita ketika melakukan hubungan dengan dunia luar, dan dalam tahap-tahap tertentu mampu menangkah esensi ketuhanan yang absurd. Lalu, bagaimana bisa kita menganggap semua yang ada pada diri kita tidak ada gunanya sama sekali atau itu bukanlah nikmat yang besar.
“Pada dirimu sendiri, apakah kamu tidak memperhatikan?”
(QS. Adz-Dzariyat: 21)

Dalam diri kita, Allah menanamkan kesanggupan dan kesigapan untuk dapat mempertahankan diri kita dalam kehidupan dunia ini. Diri kita sebenarnya telah memiliki mentalitas, motivasi dan kehausan untuk dapat berprestasi, menjadi lebih hebat dan pemimpin. Karena untuk itu, Allah telah menyiapan seperangkap alat kerja biologis yang super canggih. Tidakkah kita mengamati dalam-dalam bagaimana kerja tangan, kaki, mulut, pikiran, akal dan hati kita, yang semua itu adalah modal personal kita untuk meraih kesuksesan dan kebahagian hidup. Namun tak jarang kita mengabaikannya. Dan, menganggap bahwa modal itu harus berupa modal yang besar, kepercayaan orang lain atau sogokan semangat dari orang-orang yang kita anggap sangat berhasil di bidangnya. Lalu, kita benar-benar jadi frustasi dab stres lantaran tidak memenuhi kriteria sukses seperti figur yang kita idolakan itu.

Betapa naifnya cara pandang yang sempit seperti itu. Padahal Allah telah memberikan kapasitas dan kapabilitas yang setara antara setiap manusia. Hanya saja, bagi mereka yang tak mengenalnya yang kemudian tidak memanfaatkannya secara optimal, tentu mereka akan masuk ke dalam kelompok orang-orang kalah, yang selalu menyalahan nasib dan ketidakadilan Tuhan. Betapa piciknya pikiran yang demikian.
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan di bumi, dan Dia menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin.”
(QS. Lukman: 20)

Maka, dengan cara seperti apa kita masih tetap mempertanyakan ketidakadilan Allah dan manafikan semua nikmatnya yang ada pada diri kita. Hanya orang-orang yang mampu mensyukuri nikmat Allah pada dirinya dan memanfaatkan segala potensi yang dimilikinya, yang akan mendapat keberhasilan dan keuntungan yang besar.

Bab I dari Buku Chocolate of Happiness karya Joni L. Efendi Terbitan Diva Press, Agustus 2009

Jumat, 23 Juli 2010

Realitas Kuantum dan Nasib



By: Nurrahman Effendi

Beranjak lebih dalam lagi, kita akan memasuki sebuah dimensi yang sungguh amat menganggumkan. Kita akan mengunjungi sebuah bagian yang bernama “halte perenungan”. Dinamakan halte perenungan karena di sinilah kita merenung sejenak, memanfaatkan menit-menit sebelum jemputan yang ditunggu datang, tentang hakikat kebaradaan diri kita di antara miliran galaksi dan triliunan bintang-bintang.by Nurrahman Effendi

Pada halte ini juga Anda akan memutuskan bus mana yang hendak Anda tumpangi. Saran saya, jangan memasrahkan kepada penjual tiket untuk memilihkan bus untuk Anda. Pilihlah bus eksekutif yang cepat dan nyaman, jangan mau kalau dikasih tiket bus kelas ekonomi. Mumpung Anda masih punya kesempatan untuk memilih. Kenapa tidak digunakan sebaik-baiknya?
Kelihatan sepintas agak rumit untuk merumuskan tentang konsep nasib. Apalagi membawasertakan kuantum. Bagai menggabungkan minyak dengan air. Berpijak dari asumsi inilah, saya beranikan diri untuk menulis sesuatu yang “sukar” menurut perkiraan Anda itu. Suatu yang perlu kita ketahui, manusia memang doyan berpikir sufistik dan kompleks. Padahal ada cara lain yang lebih simpel dan renyah. Untuk apa berumit-rumit ria kalau ada rumus gampangnya.

Coba perhatikan apa yang ada di sekitar Anda. Adakah sesuatu yang dapat Anda pegang? Ya, tidak usah jauh-jauh. Pegang buku yang ada di genggaman Anda ini kuat-kuat. Buku ini adalah contoh yang baik. Karena Anda sudah memiliki dan menggenggamnya, tidak ada orang yang marah kalau Anda ingin memperlakukannya sesuka hati Anda. Kecuali jika Anda meminjamnya dari teman atau perpustakaan, itu baru memancing masalah.
Perhatikan baik-baik buku ini. Anda akan sependapat dengan saya, bahwa inilah contoh benda yang kasatmata, sesuatu yang dapat dilihat, dipegang dan dijatuhkan (asal jangan disobek). Kalau kita membayangkan sebuah piramida struktur materi, benda adalah berada pada bagian pangkalnya. Kemudian menyusul molekul (senyawa), atom dan partikel. Urutan dari benda sampai partikel adalah materi yang tampak, yang merupakan hardward.

Kalau bisa kita analogikan, benda sama dengan nasib. Maka secara jelas, nasib masing-masing orang pasti tidak sama. Nyatanya, kembali ke buku, ada buku yang super tebal ribuan halaman dan tipis belasan halaman, berukuran besar, sedang dan mungil, jenis kertanya juga tidak sama sesuai dengan seberapa besar uang yang Anda serahkan kepada kasir sewaktu membelinya. Begitu juga dengan nasib dari masing-masing kita.
Perbedaan ini didasarkan pada berbedanya bahan-bahan penyusun benda (nasib) tersebut. Dalam hal ini, kita akan mempertanyakan sejauh mana kekuatan ikatan molekulnya. Orang akan membayar mahal untuk kayu jati dan cendana, karena kualitasnya nomor satu. Tapi tidak untuk kayu akasia yang lunak dan tidak tahan air, harganya hampir menyentuh tanah, yang hanya cocok dijadikan kayu chip untuk bubur kertas. Di sinilah letak perbedaan karakter (analogi dari molekul) antara orang kelas A (mental juara) dengan level D atau E (orang-orang tipekal minderan dan pesimistik).
Senyawa atau molekul tadi sepenuhnya ditentukan oleh atom (unsur) penyusunnya. Karakter yang baik dibangun dari kebiasaan-kebiasaan yang positif. Senyawa mewakili karakter, sedangkan unsur adalah analogi dari kebiasaan. Orang yang berkarekter juara sudah terbiasa menerima kekalahkan, akrab dengan dinamisasi proses untuk mendapatkan cara yang lebih baik dan sering terjatuh sebelum mampu berdiri mantap di kedua kakinya sendiri. Sedangkan orang yang pesimistik adalah mereka yang tidak terbiasa menerima kekalahan atau takut kalah sebelum bertanding. Kebiasaan bersumber dari tindakan dan prilaku yang dilakukan secara konsisten. Orang yang selalu menggunakan tangan kanannya untuk melakukan pekerjaan apapun, maka kebiasaannya menyuap makanan juga menggunakan tangan kanan. Kebiasaan bisa dilatih, misalnya Anda begitu sulit untuk shalat tahajud (shalat malam). Coba disiplinkan diri Anda bangun jam 3.30 dini hari setiap hari. Pada bulan ketiga, Anda tidak akan berat lagi untuk mendirikan shalat tahajud karena sudah terbiasa.

Nasib, karakter, kebiasaan dan tindakan atau prilaku merupakan bagian yang tampak dari luar, kasatmata. Kita menyebutnya sebagai faktor indrawi, yang bisa teramati oleh pancaindra kita atau yang bersifat badaniah. Bagian badaniah ini, sebenarnya tidak terlalu dominan untuk merubah kehidupan seseorang secara mendasar, misalkan dari orang miskin menjadi kaya. Karena tubuh fisik kita gerakannya lambat, dan bukan ia yang menentukan segalanya. Ada bagian lain, yang lebih dalam dan halus, dari tubuh kita yang sebenarnya pengendalikan semua kerja mekanis badaniah kita itu. Itulah perangkat softward tubuh kita, yang di dalamnya terangkai segenap sistem operasional dari tubuh kita (hardward). Dialah pikiran, perasaan dan hati (jiwa). Bagian inilah yang terletak dalam ruang-ruang hampa kuanta. Bagian inilah yang tidak tampak itu, tapi kedudukannya sangat vital. Di sinilah energi kehidupan yang luar biasa hebatnya itu bersemayam. Tugas Anda adalah untuk menggerakannya, mengubahnya dari gelombang menjadi sesuatu yang nyata.
Kalau kita mampu mengubah dan menggerakan energi vibrasi ini, kemungkinan besar kita dapat merubah semua perilaku, kebiasaan, karakter dan nasib kita. Sebenarnya ada dua cara untuk dapat merubah energi vibrasi itu, dengan tangan kita sendiri atau mengikutsertakan campur tangan kekuasaan yang Maha Berkehendak, Tuhan.

Dengan tangan kita sendiri, sudah sangat jelas maksudnya. Kerja apa saja yang kita lakukan sesuai dengan profesi kita atau yang kini sedang kita geluti adalah masuk kategori yang dimaksudkan di sini. Tingkatan kerja yang kita lakukan ini akan sangat mempengaruhi sebesar apa energi vibrasi yang bisa kita ubah. Perhatikan lalu renungkan ayat berikut ini.

Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (QS Ar-Rad: 11)

Pada kalimat terakhir ayat di atas, bahwa sangat mudah bagi Allah untuk merubah keadaan suatu kaum (orang). Tapi posisi pertama tetap berada pada tangan orang yang bersangkutan, apakah dia ingin mengubah keadaan yang ada pada dirinya atau menerima saja apa yang ditakdirkan Allah atas hidupnya. Sama seperti seseorang yang menunggu di halte perenungan, apakah dia sendiri yang akan memilih bus atau dipilihkan oleh penjual tiket. Simpel saja, bukan?

Rumus sederhananya, jika Anda ingin mengubah nasib (realitas fisik) maka Anda harus mampu mengubah pikiran, perasaan dan hati (realitas kuantum) Anda terlebih dahulu. Pikiran, perasaan dan hati Andalah yang sebenarnya sebagai penyuplai energi yang tidak ada habisnya untuk mendukung kerja mekanis tubuh fisik Anda. Bukankah motivasi, optimisme, sensitifitas, emosional dan spiritualitas semuanya bersumber dari realitas kuantum ini?

Di sinilah letak bedanya antara seorang petani dengan salesman, seperti yang telah kita singgung pada bagian terdahulu. Seorang petani begitu sulit untuk kaya karena dalam pikirannya tertanam sebuah paradigma keliru, “Saya tidak mungkin kaya kalau cuma jadi petani.” Kenyataannya, apa yang terjadi persis sama dengan apa yang dia pikirkan. Ketika berpikir “tidak mungkin bisa”, maka energi vibrasi itu akan membentuk energi negatif sama persis dengan apa yang kita sketkan dalam pikiran kita.

Salesman tadi melihat dari sudut pandang yang berbeda, “Saya pasti bisa mencapai target penjualan.” Ketika dia berpikiran seperti itu, maka energi positif potensialnya akan bergerak ke arah sana. Kuanta akan mengubah dirinya menjadi optimisme sehingga mampu menggerakan anggota tubuh yang lain melakukan cara-cara kreatif untuk mendongkrak penjualan. Kuantanya lebih sensitif merasakan getaran vibrasi relasinya. Setiap kali dia hendak melakukan persentasi, selalu pada orang yang benar.

Sedangkan salesman yang tidak mampu memenuhi target, dia berpikiran tidak jauh beda dengan petani tadi, “Saya mungkin tidak bisa memenuhi target minggu ini.” Sehingga dia menjadi gugup dan tidak percaya diri. Dan mengambil langkah penyelamatan yang konyol, menawarkan produk kepada semua orang yang belum tentu berminat. Di sinilah, dia tidak dapat merasakan getaran kuantanya sendiri sehingga kesulitan menemukan pasangan gelombang kuanta pada orang lain (yang kemungkinan besar mau membeli produk yang ditawarkannya). Sedangkan mengenai pengemis tadi, sebentar lagi akan kita bincangkan di sini.

Ada sesuatu yang khas dari gelombang kuanta, dia akan berkecenderungan berkolaborasi dengan gelombang lain yang memiliki frekuensi yang sama. Realita yang tidak terbantahkan bahwa kita akan merasa nyaman ketika berada di dekat orang-orang yang memiliki kebiasaan, hobi, latar belakang, minat, cara pandang dan spiritualitas yang sama dengan kita. Sekarang urutkan nama-nama sahabat Anda, mulai dari paling akrab sampai cuma kenalan biasa. Semakin banyak kesamaan yang Anda miliki, maka semakin dekat persahabatan Anda dengan mereka. Rasulullah saw mengakatan bahwa ruh manusia (pada alam ruh) seperti tentara yang berbaris, dia akan mudah mengenali yang berbaju sama dengannya. Dan inilah sebuah fakta bahwa kita memiliki gelombang kuanta yang berfrekuensi sama dengan orang lain. Supaya pepatah lama mengatakan, birds with the same feathers flock together.

Sekarang kita akan ketuk pintu yang lain, pintu dari Sang Maha Berkehendak, Tuhan semesta alam. Ketika kita mengetuk pintu-Nya, Dia akan segera merespon apa yang kita inginkan. Tentunya ada trik tertentu yang harus kita lakukan. Pada tahapan ini, sebenarnya kita telah menyelam lebih dalam lagi. Setelah pikiran dan perasaan, sebenarnya ada lagi dimensi yang lebih halus dari itu, yakni hati (sumber spiritulitas tempat bersemayamnya God Spot). Kalau bisa dikatakan inilah bagian paling dalam dari bilik kuantum, yang menyimpan kebeningan dan juga kekeruhan sekaligus. Pemilahannya sepenuhnya berada di bawah kendali si empunya, yaitu Anda.

Rasulullah saw mengatakan bahwa hati inilah kunci penentu apakah seseorang baik atau tidak. Hati yang sehat akan mudah menangkap gelombang-gelombang ketauhidan. Sedangkan hati yang sakit, akan menjadi tumpul terhadap suara-suara kebaikan. Dan begitu sensitif untuk melakukan kemaksiatan dan dosa. Kalau saja Anda tidak menjaganya dengan baik, Anda akan kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam diri Anda.
Kalau bisa digambarkan secara sederhana, hati adalah radio transmiter yang mampu menangkap gelombang kuanta. Gelombang kuanta ini berada pada frekuensi 99,0 AH. Jika radio transmiter Anda baik, maka putarlah tuningnya pada frekuensi 99,0 AH. Anda akan dapat mendengarkan pancaran energi kuanta alam raya. Sebenarnya energi kuanta itu selalu memancar setiap saat, masalahnya apakah Anda memutar cannelnya atau tidak.

Mekanisme inilah yang bekerja saat kita berdoa. Karena itulah, Allah mengajarkan kepada kita ketika memohon kepada-Nya untuk selalu berada pada frekuensi 99,0 AH ini. Allah memiliki Asma’ul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma’ul Husna itu. (QS. Al-Araaf: 180)

Pada saat kita berdoa, pikiran sadar dan bawah sadar kita akan menimbulkan vibrasi yang sangat kuat. Frekuensi getarannya itu sangat ditentukan dengan tingkat iman seseorang. Besarnya energi vibrasi tersebut bisa diukur dengan alat-alat tertentu dan digolongkan dalam fase beta, alfa, delta, dan gamma. Saat yang paling khusyuk berdoa, otak memasuki fase delta, di mana otak bawah sadar kita bekerja dan mengaktifkan gelombang kuanta tubuh yang lain. Sudah dibuktikan dengan berbagai eksperimen, ketika seseorang yang sedang berdoa, energi vibrasi yang ‘dipancarkan’ otaknya bisa masuk ke frekuensi 99,0 AH ini. Dalam saat yang bersamaan, akan ada respon balik. Maka, sudah jadi jaminan bahwa Allah akan mengabulkan setiap permintaan hamba yang memohon kepada-Nya.

Pada waktu-waktu tertentu, sepertiga malam terakhir, adalah waktu paling mustazab dikabulkannya doa. Pada waktu inilah, frekuensi 99,0 AH paling bening. Sangat dianjurkan Anda bangun pada waktu ini lalu bermohon kepada Tuhan pada frekuensi ini. Yakinlah, doa Anda akan segera mendapat respon dan Allah mengabulkannya. Doa yang Anda kirimkan ini adalah semacam gelombang pengumpan untuk mengubah bentuk kuanta yang ada dalam diri Anda. Tapi yang melakukannya bukan diri Anda lagi tapi kekuasaan dari Yang Maha Berkehendak.

Sebagian besar radio transmiter (hati) manusia, senantiasa bermasalah. Penghalang tidak terkabulnya doa, ada di sini penyebabnya, yaitu diri kita sendiri. Dalam bahasa psikologis penghalang ini disebut psychological reversal atau mental block. Kalau Al-Qur’an menyebutnya dengan istilah hati yang berpenyakit. Sedangkan Al-Ghazali mengidentifikasi sebagai hati yang hampir mati, kalau sudah mati maka dia akan menolak kebaikan dan mencintai segala macam kemasiatan. Satu solusi yang ditawarkan Al-Ghazali untuk hati yang sudah mati, ganti dengan hati yang baru. Bagaimana cara mengganti hati?

Jawaban simpel saja, operasi hati. Bagaimana caranya?
Anda harus memiliki keberanian lebih untuk mengoperasi hati Anda itu dengan banyak-banyak berzikir dan berdoa. Namun sebelumnya Anda harus mengamputasinya dengan tobat sebenar-benar tobat (tobat nasuha). Untuk selanjutnya, Anda biasakan untuk banyak berzikir, berdoa dan juga bersedekah. Sedakah juga bisa dijadikan sebagai terapi penyakit hati.
Cara lain untuk dapat menangkap frekuensi 99,0 AH adalah dengan banyak-banyak bersyukur. Pada setiap saat kita dianjurkan mengucapkan hamdalah (Alhamdulillah), secara otomatis otak kita akan masuk pada fase khusyuk. Hati kita menjadi tentram dan lapang sehingga geteran vibrasinya sangat kuat.

Begitu juga dengan sedekah, ini adalah sebuah mekanisme yang sangat mengagumkan untuk menambah potensial energi vibrasi kuanta kesuksesan Anda. Allah akan memberikan balasan yang teramat cepat dari setiap sedekah yang Anda keluarkan. Kuanta dari apa yang Anda sedekahkan itu sebenarnya tidak berkurang tapi malah bertambah. Tanpa Anda duga-duga, kuanta itu akan kembali kepada Anda dalam jumlah yang jauh lebih besar. Dengan kekuatan yang besar itu, sangat memungkinkan untuk merubah nasib Anda dalam waktu yang amat cepat. Inilah bukti kekuasaan Allah yang langsung dipertunjukkan di hadapan hidung Anda. Beberapa keajaiban sedekah ini akan saya sajikan dalam bab keempat dan kelima.
Buku ini saya dedikasikan untuk membuktikan sebuah “keajaiban” yang benar-benar ada itu. Dan, banyak orang yang telah mengalaminya termasuk saya sendiri. Sedekah adalah cara yang paling jitu untuk menggambarkan bahwa Tuhan turut serta mengubah takdir Anda melalui kekuatan energi kuanta yang luar biasa. Sejatinya sedekah itu adalah menambah energi kuanta Anda sendiri bukan menguranginya.

Dalam realitas kuantum, tak ada benda yang benar-benar padat (kita misalkan sebagai uang) semuanya hanya ruang hampa. Energi kuanta yang tak pernah diam itu akan bertambah besar bila volumenya diperbesar. Sedekah akan memperbesar volume kuanta yang Anda miliki. Dengan volume yang besar, tentunya di dapat mengubah apa saja termasuk nasib Anda. Sedekah adalah modal nyata untuk menumpuk kekayaan material dan spiritual dalam diri Anda. Ketika Anda membuka lembaran-lembaran setelah bab ini, Anda akan menemukan sesuatu yang mengagumkan, sesuatu yang dapat mengubah hidup Anda untuk selamanya. Dan sesuatu itu adalah nyata dalam realitas kuantum yang mengagumkan.

Dikuti dari buku Quantum Sedekah: Trik Jitu Melejitkan Kekayaan dan Spiritual, karya Nurrahman Effendi, Terbitan Grafindo, November 2008

Jumat, 09 Juli 2010

Teladan Dakwah Rasulullah



Firman Allah SWT yang bermaksud

“Apakah kamu mengira bahawa kamu akan masuk syurga walhal belum datang cubaan kepadamu sebagaimana halnya orang-orang sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan berbagai cubaan),…” [Al-Baqarah:214]

Seorang Muslim yang beriman kepada Allah dan hari kiamat tentunya memiliki keyakinan bahawa setiap letupan hati, ucapan lisan dan perbuatannya pasti akan ditanya oleh Allah SWT di yaumil hisab (hari pembalasan) nanti. Oleh itu, ia akan melakukan setiap perbuatannya sesuai dengan hukum syara’, termasuk dalam aktiviti mengemban (memikul) dakwah.


Kehidupan Rasulullah SAW adalah kehidupan dakwah, yakni kehidupan mengemban (memikul) risalah Islam untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia secara kaffah (menyeluruh) serta perjuangan menghadapi segala bentuk pemikiran kufur dan kehidupan jahiliyah.

Firman Allah SWT yang bermaksud

“Katakanlah: Inilah jalan (dakwah) ku. Aku beserta orang-orang yang mengikutiku (yang) mengajak kalian kepada Allah dengan hujah yang nyata. Maha Suci Allah dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik.” [Yusuf:108]


Selama 23 tahun Rasulullah berjuang dengan sungguh-sungguh, tak kenal lelah, berdakwah teru-menerus, mengajak manusia kepada Islam dengan dakwah fikiyyah, dakwah siyasiyyah dan dakwah askariyyah.


Disebut dakwah fikiyyah (intelektual) kerana baginda memulai dakwahnya dengan menyebarkan aqidah, pandangan hidup, pemikiran dan pemahaman Islam seraya menyerang segala bentuk pemikiran kufur, pandangan hidup sesat serta menghancurkan semua bentuk kepercayaan (tradisi) jahiliyah. Disebut dakwah siyasiyyah(politikal) kerana di dalam dakwah ini Baginda mengarahkan umat pada terbentuknya suatu kekuatan sebagai pelindung dan pendukung agar Islam menjadi rahmat dan tersebar ke seluruh dunia. Manakala dakwah askariyyah (ketenteraan) adalah dakwah yang dilancarkan melalui strategi dan taktik dalam jihad fi sabilillah.


Rasulullah berjaya dalam mengemban dakwah dengan cemerlang,membina dan membentuk masyarakat Islam, mendirikan daulah (negara) serta menghimpun umat manusia yang sebelumnya terpecah-belah dalam bentuk berbagai kabilah menjadi umat yang satu di bawah panji Islam.


Kejayaan Rasulullah SAW dalam mengemban (memikul) dakwah tentunya kerana apa yang Baginda lakukan merupakan wahyu dari Allah SWT, Dzat Yang Maha Mengetahui keperluan hamba-Nya. Tidak ada satu pun perbuatan Rasulullah yang baginda kerjakan atas kehendak atau keinginan baginda.

Dalam hal ini Allah SWT berfirman

“Katakanlah:…. Aku sekali-kali tidak mengikuti, kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.” [al An’aam: 50]

“Dan apa sahaja yang dia (Muhammad) ucapkan itu,sesungguhnya bukanlah bersumber daripada hawa nafsunya, melainkan wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”[Surah An-Najm: 4]

“Katakanlah (Muhammad): ‘Aku hanya akan mengikuti apa sahaja yang diwahyukan kepadaku oleh Tuhanku.’ ”[Al-A’raf: 203]

“Aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku.”[Yunus: 15]

“Aku hanya akan mengikuti apa sahaja yang diwahyukan kepadaku.” [Al-Ahqaq: 9]

“Katakanlah (Muhammad) : ‘Aku hanya akan memberi peringatan kepada kamu dengan wahyu.’ ”[Al-Anbiya’: 45]

Ayat-ayat di atas bermakna bahawa Rasulullah SAW tidak akan melakukan sesuatu perbuatan kecuali berdasarkan wahyu dari Allah SWT, dan agar manusia mengikuti apa yang disampaikan Rasul kepada mereka. Sebagaimana Firman-Nya di ayat yang lain:

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.”[Al-Hasyr: 7]


Pada dasarnya kesempurnaan dakwah yang haqiqi sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW pada waktu ini telah berhenti. Semenjak runtuhnya Daulah Khilafah, umat Islam yang dahulunya utuh dan bersatu sebagai ummatan wahidah (umat yang satu), berpecah belah menjadi berbagai bangsa dan negara yang berdiri sendiri-sendiri. Penaklukan Islam (futuhat Islamiyah) yang seharusnya terus berlanjutan, kini terhenti secara langsung. Semua itu disebabkan tidak adanya Daulah (Negara) yang menyatukan umat, sehingga Islam menjadi lemah padahal mulanya kekuatan Islam sangat kukuh dan disegani oleh musuh-musuhnya.


Oleh kerana itu, umat Islam yang ingin bangkit harus menempuh jalan dakwah yang lurus dengan metod (Thoriqah) yang benar dengan cara memahami perjalanan dakwah Rasulullah secara keseluruhan. Dengan cara ini, kejayaan Islam insyaAllah akan dapat dicapai untuk kedua kalinya. Allah lah yang menurunkan agama ini sebagai deen al-fitrah (agama yang sesuai dengan fitrah) , maka Dia jugalah yang mengukuhkan dan memenangkannya dari musuh-musuh Islam, sekalipun mereka berusaha sekuat tenaga untuk melenyapkannya. Dengan mengamati tahap-tahap turunnya Al-Qur’an dan sebab-sebab turunnya Al-Qur’an, maka akan dapat difahami arah dan perjalanan dakwah Rasulullah SAW. Dengan demikian sangat jelas tergambar perbezaan aktiviti dakwah pada dua masa (jangka waktu) yaitu, ‘masa dakwah di Mekah’ (belum berdirinya Daulah Islam (Negara Islam)) dan ‘masa dakwah di Madinah’ (di mana telah berdirinya Daulah Islam).


Masa Dakwah Rasulullah di Mekah

Dengan mengamati perjalanan dakwah di Mekah, akan dapat difahami bahawa Rasulullah SAW berdakwah melalui dua tahap (marhalah). Tahap Pertama adalah Tahap Pembinaan dan Pembentukan manakala Tahap Kedua adalah Tahap Penyebaran Dakwah Secara Terang-terangan dan Melakukan Perjuangan untuk Membentuk Sebuah Masyarakat yang Baru (dari segi pemikiran dan perbuatan).


(1) Tahap Pembinaan dan Pengkaderan(Pembentukan) [Marhalah Tasqif]

Tahap ini dimulai sejak Baginda SAW diutus menjadi Rasul, setelah firman Allah SWT :

“Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah, lalu berilah peringatan!” [Al-Muddatstsir: 1-2]

Baginda SAW secara diam-diam (sirriyah) mulai mengajak masyarakat untuk memeluk Islam. Selama tiga tahun Baginda SAW menyampaikan dakwah dalam bentuk ajaran per individu dari rumah ke rumah. Bagi yang menerima dakwah, segera dikumpulkan di rumah seorang sahabat bernama Arqam, sehingga rumah tersebut dikenali sebai Daurul Arqam (rumah Arqam). Di rumah ini setiap hari para sahabat mendengarkan ayat-ayat Al-Qur’an dan penjelasan dari Rasulullah SAW. Pendek kata tempat inilah mereka dibina dan dibentuk dengan bersungguh-sungguh dan terus menerus. Selanjutnya beberapa daripada mereka diutus untuk menyampaikan dakwah kepada yang lain. Di antaranya adalah Khabab bin Arts yang mengajarkan Al-Qur’an di rumah Fatimah binti Khaththab bersama suaminya, yang kemudian dari sinilah Umar bin Khaththab masuk Islam. Walaupun terasa lambat, namun semakin hari semakin bertambah jumlah merekahingga mencapai 40 orang dalam tempoh waktu 3 tahun.


Sememangnya dakwah pada marhalah ini dilakukan secara diam-diam, tetapi bukan bererti Rasulullah takut melaksanakannya secara terang-terangan. Apakah ada yang meragukan rasa yakin Rasulullah SAW bahawa dalam mengembang risalah ini pasti akan mendapat perlindungan daripada Allah SWT? Seandainya dakwah dilaksanakan secara terang-terangan pun, insyaAllah Rasulullah dijamin keselamatannya oleh Allah. Bila demikian, mengapa Rasul melakukannya secara diam-diam?


Jika dikaji secara saksama, maka akan dapat difahami mengapa tahap awal dakwah Rasulullah ini dilakukan secara sirriyah (diam-diam). Suatu konsepsi atau pemikiran yang masih asing dan belum terfikirkan oleh masyarakat, hendaklah terlebih dahulu disampaikan secara diam-diam dengan memperbanyakkan face to face (bersemuka) dan penjelasan. Ternyata terbukti kemudian, aktiviti seperti ini mampu menghasilkan kader(pembetukan kumpulan kecil) dan pendukung teguh yang bersedia mengorbankan apapun untuk meraih cita-cita yang diharapkan. Maka inilah thoriqah (jalan atau cara) yang tepat untuk mengawali dakwah di tengah-tengah masyarakat yang menerapkan aturan jahiliyyah yang sama sekali jauh dari nilai-niali Islam.


Berdasarkan langkah dakwah ini jumhur (majoriti) fuqoha berpendapat bahawa bila kaum muslimin berada pada posisi atau kedudukan lemah, rapuh kekuatannya dan khuatir hancur binasa oleh kekuatan lawan, maka hal ini lebih utamakerana seseorang muslim tidak boleh menyerah kepada kaum kafir atau zalim dan tidak boleh berdiam diri tanpa berjihad melawan orang-orang kafir.

Hal ini terbukti pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW pada permulaan dakwah. Saat bersama isterinya yaitu Siti Khadijah, Rasulullah pernah diancam oleh Abu Jahal tatkala solat di depan Ka’bah dan dengan terang-terangan mencela patung-patung berhala yang disembah oleh orang-orang Arab. Ketika di Mina, Rasul bersama Ali bin Abi Thalib menyampaikan kepada orang ramai bahawa suatu masa nanti Kerajaan Rom dan Parsi akan ditakluk oleh Islam.


Menurut periwayan hadis ini, apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para pengikutnya yang masih berjumlah tiga orang (Siti Khadijah, Saidina Abu Bakar RA dan Saidina Ali RA) itu adalah untuk menarik perhatian kaum Quraisy agar berfikir tentang hakikat berhala yang dijadikan sebagai tuhan, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS.


Dari hal tersebut dapat pula diketahui bahawa sejak awal dakwah Rasulullah SAW bukanlah dakwah ruhiyyah (kerohanian) semata-mata, melainkan juga dakwah siyasiyyah (politik). Kerana tidak mungkin Kerajaan Rom dan Parsi akan dapat ditakluk tanpa niat dan usaha kaum muslimin untuk memperoleh kekuasaan yang berdaulat, kekuasaan yang mampu menggerakkan bala tentera untuk menghancurkan kedua-dua kerajaan itu.



(2) Tahap Interaksi dengan Masyarakat dan Perjuangan [Marhalah tafaa’ul wal kiffah]

Pada tahap ini dakwah Rasulullah berubah dari sembunyi-sembunyi menjadi terang-terangan. Dari aktiviti mendekati individu-individu untuk kemudian disiapkan kutlah (kelompok) menjadi menyeru secara langsung dan terbuka kepada masyarakat seluruhnya. Hal ini dilakukan setelah Rasulullah beserta para pengikutnya mendapat perintah daripada Allah SWT:

“Maka sampaikanlah secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan kepadamu dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.” [Al-Hijr: 94]

Sejak saat itu maka bermulalah pertempuran antara kekafiran dengan keimanan, dan pertarungan antara pemikiran yang rosak dan tercemar melawan pemikiran yang benar dan suci. Pertempuran yang dasyat pada tahap dakwah itu segera mendapat reaksi keras daripada orang-orang kafir di Mekah. Sehingga menimbulkan tentangan berupa penyiksaan-penyiksaan yang hebat dan datang secara bertubi-tubi. Pada tahap ini, para pengikut Rasulullah SAW sungguh-sungguh diuji sampai sejauh mana kualiti keimanan mereka setelah tiga tahun dibina keperibadiannya (syakhsiyah) di Darul Arqam.


Penyiksaan secara keji terhadap orang-orang yang memeluk Islam banyak terjadi. Penyiksaan terhadap Bilil bin Rabah, keluarga Yasir, Khabab bin Arts, Abu Dzar Al Ghifari, Ibnu Mas’ud, serta boikot yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy terhadap kaum muslimin hanyalah sedikit contoh daripada ujian itu. Di puncak penderitaan itu, Rasulullah SAW berharap ada orang kuat diantara pengikutnya yang dapat melindungi dakwah. Harapan Rasulullah tidak sia-sia. Saidina Hamzah, paman Rasulullah yang sangat disegani, masuk Islam ketika melihat Muhammad Rasulullah dianiaya dan dicaci maki oleh Abu Jahal. Ketika itulah Rasulullah SAW berdoa:

“Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan Abu Jahal bin Hisyam atau dengan Umar bin Khathtab.”

Doa Rasulullah yang mengharapkan Umar bin Khaththab masuk Islam menjadi pengajaran bahawa dakwah Islam dimana pun perkembangannya memerlukan pendukung-pendukung yang kuat dari orang-orang yang memiliki pengaruh di hadapan masyarakat.


Pengajaran lain daripada peristiwa- peristiwa itu adalah bahawa penderitaan, ujian dan cubaan merupakan ujian iman untuk memisahkan antara haq dengan yang bathil. Manakah pengikut Rasulullah yang teguh dan bersungguh-sungguh dan mana yang bukan. Kisah-kisah ini sepatutnya menjadi pengajaran bagi semua kaum muslimin untuk tetap dapat istiqomah di jalan dakwah serta ikhlas menegakkan deenullah (Agama Allah), meskipun mendapat ancaman maut, dianiaya dan disiksa oleh penguasa yang zalim. Pengorbanan merupakan hal yang tidak dapat dihindari dalam setiap perjuangan dakwah.


Pada tahap ini, dakwah Rasulullah lebih banyak menggugat mengenai aqidah, sistem serta adat-istiadat jahiliyah orang-orang kafir Mekah. Hal ini dapat dilihat dari ayat-ayat Makiyah yang pada umumnya mengajak manusia untuk memikirkan kejadian alam semesta, agar meninggalkan kepercayaan nenek moyang yang mereka warisi dan amalkan dalam kehidupan mereka.

Ayat-ayat tersebut adalah sebagai berikut:


a) Dalam masalah aqidah, seperti yang tersebut dalam firman Allah SWT:

“….. orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: ‘Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adaqlah pengikut jejak-jejak mereka.’ (Rasul itu) berkata: ‘Apakah kamu akan mengikutinya juga sekalipun aku untukmu agama yang lebih nyata memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?’….”[Az Zukhruf: 23-24]


b) Dalam Bidang Sosial, Allah SWT berfirman:

“Apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, merah padamlah mukanya dan dia sangat marah. Dia menyembunyikan diri dari orang ramai kerana buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburnya dalam tanah. Ketahuilah, alangkah buruknya yang mereka tetapkan itu.” [An Nahl: 58-59]


c) Dalam Bidang Ekonomi,Allah SWT berfirman:

“Orang-orang yang menimbunkan emas dan perak serta tidak menafkahkannya di jalan Allah, beritahukanlah kepada mereka azab yang amat pedih.”[At Taubah: 34]


Aktiviti dakwah yang dilakukan Rasulullah SAW membuatkan para tokoh pemimpin kafir Quraisy bertindak berkumpul di Darun Nadwah untuk membincangkan perilaku dan dakwah Rasulullah SAW yang telah menyusahkan mereka serta menggoncang kepimpinan mereka ke atas kaum Quraisy. Kemudian dibuat-buat isu bahawa Muhammad memiliki kata-kata yang menyihir, yang dapat memisahkan seseorang dengan isterinya, dari keluarganya, dan bahkan dari kaumnya. Akan tetapi kemudian Allah SWT mengkabarkan kepada Rasulullah SAW mengenai persekongkolan ini denagan firman-Nya:

“Sesungguhnya dia telah memikirkan dan menetapkan (apa yang ditetapkannya). Maka celakalah dia, bagaimanakah dia menetapkan? Kemudian celakalah dia, bagaimanakah dia menetapkan? Kemudian dia memikirkan.Sesudah itu, dia bermasam muka dan merungut. Kemudian dia berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri. Lalu dia berkata: ‘(Al-Quran) ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu). Ini tidak lain hanyalah perkataan manusia.’ Aku (Allah SWT) akan memasukkannya ke dalam (neraka) Saqar.” [Al-Muddatstsir: 18-26]


Tatkala para pemimpin Mekah mengalami kejumudan dan mulai menyakiti Rasul setelah paman Baginda RAW, Abu Thalib wafat. Rasulullah berusaha mencari pendukung ke kota Tha’if. Tetapi usaha Baginda tidak berhasil bahkan disambut dengan penghinaan dan lemparan batu.

Rasulullah juga menyeru para pemuka kabilah-kabilah Arab. Baginda berkata kepada mereka,

“Ya Bani fulan! Saya adalah utusan Allahbagi kalian, dan menyeru kepada kalianuntuk beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya, dan agar kalian meninggalkan apa yang kalian sembah, agar kalian beriman kepadaku dan percaya kepadaku, dan agar kalian membela dan melindungiku, sehingga aku bisa menjelaskan apa yang telah disampaikan Allah kepadaku.”


Dalam Sirah Ibnu Hisyam diriwayatkan, “Zuhri menceritakan bahawa Rasulullah SAW mendatangi secara peribadi Bani Kalban, akan tetapi mereka menolak. Baginda juga mendatangi Bani Hanifah, dan meminta kepada mereka nusroh (pertolongan) dan kekuatan, namun tidak ada orang Arab yang lebih keji penolakannya terhadap Baginda kecuali Bani Hanifah. Baginda juga mendatangi Bani Amir bin Sha’sha’ah, mendoakan mereka kepada Allah dan meminta kepada mereka secara peribadi. Kemudian berkatalah seorang laki-laki dari mereka yang bernama Baiharah bin Firas: ‘Demi Allah, seandainya aku mengabulkan pemuda Quraisy ini, sungguh orang Arab akan murka.’ Kemudian ia berkata: ‘Apa pendapatmu jika kami membai’atmu atas urusan kamu, kemudian Allah memenangkanmu atas orang yang menyisihmu, apakah kami akan diberi kekuasaan setelah engkau?’ Rasulullah SAW berkata kepadanya: ‘Urusan (kekuasaan) itu hanyalah milik Allah, yang Dia berikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki.’ Baiharah berkata: ‘Apakah kami menyerahkan leher-leher kami kepada orang Arab padahal jika Allah memenangkan kamu, urusan (kekuasaan) itu bukan untuk kami. Kami tidak perlu urusanmu.’ ”


Baginda SAW selain aktif berdakwah kepada kabilah-kabilah di sekitar Mekah, Baginda juga mendatangi kabilah-kabilah di luar Mekah yang datang tiap-tiap tahun ke Mekah, baik untuk berdagang mahupun untuk mengunjungiKa’bah, di jalan-jalan, pasar Ukadz, dan Mina. Sampai suatu ketika pada musim haji, datanglah serombongan orang dari suku Aus dan Khazraj dari Yatsrib (Madinah). Kesempatan ini digunakan oleh Rasulullah SAW untuk menyampaikan dakwah. Ketika rombongan ini mendengar ajakan Rasul, satu sama lain antara mereka saling berpandangan sambil berkata: “Demi Allah, dia ini seorang nabi seperti yang dianjurkan orang-orang Yahudi kepada kami.”


Kemudian mereka menerima dakwah Rasulullah SAW sambil berkata: ‘Kami tinggalkan kaum kami disana dan tidak ada pertentangan serta permusuhan antara kaum kamidengan kaum yang lain, mudah-mudahan Allah SWT mempertemukan mereka denganmu dan menerima dakwahmu, maka tidak ada lagi orang yang paling mulia darimu.’ [Sirah Ibnu Hisyam 1: 428]


Tatkala tahun berikutnya tiba dan musim haji datang, dua belas orang lelaki dari penduduk Madinah bertemu dengan Rasulullah SAW di Aqobah. Mereka berbai’at kepada Rasulullah SAW yang dikenal dengan Bai’atul Aqabah.

Isi baiat (Pengistiharan untuk patuh) tersebut adalah:

“Tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina dan tidak membunuh anak-anak kecil, tidak berbohong serta tidak menentang Rasulullah dalam perbuatan ma’ruf.”[ Hadis Riwayat Bukhari ]

Setelah bai’at itu, mereka kembali ke Madinah bersama utusan Rasul, yaitu Mush’ab bin Umair untuk mengajarkan Al-Quran dan hukum agama. Pada tahun berikutnya, Mush’ab bin Umair kembali ke Mekah bersama tujuh puluh lima orang Madinah yang telah masuk Islam. Dua diantaranya adalah wanita dan mereka membai’at Rasulullah SAW. Bai’at ini dinamakan Bai’atul Aqabah II. Selesai melakukan bai’at, Rasulullah menunjuk dua belas orang untuk menjadi pemimpin masing-masing qabilah mereka.

Abbas bin Ubadah, salah seorang dari mereka berkata kepada Rasulullah:

“Demi Allah yang mengutusmu dengan kebenaran, bila engkau mengizinkan, kami akan perangi penduduk Mina besok pagi dengan pedang-pedang kami.”

Jawab Rasulullah SAW:

“Kita belum diperintahkan untuk itu, dan lebih baik kembalilah ke kenderaanmu masing-masing.”[Sirah Al Halabiah II: 176]


Jelas bahawa sebelum hijrah ke Madinah dan membangunkan Daulah di Madinah, kewajiban berjihad di dalam Islam belum diperintahkan. Dengan demikian dapat diketahui bahawa dakwah Rasulullah dalam masa Mekah adalah dakwah dalam rangka memperkenalkan Islam melalui dakwah fikriyyah (intelektual) kemudian membina umat, mengatur barisan dan menyusun kekuatan untuk kemudian Hijrah ke Madinah.


Masa Dakwah Rasulullah di Madinah

Hijrahnya kaum muslimin ke Madinah adalah sebagai awal mula marhalah (tahap) dakwah ketiga, yaitu Marhalah Tathbiq Al-Ahkaam Al-Islami (Penerapan Syari’at Islam). Hal ini tandai dengan didirikannya Daulah Islamiyah (Negara Islam) sebagai pelaksana hukum Islam dan sebagai pengemban (pemikul) risalah Islam ke seluruh pepenjuru dunia melalui dakwah dan jihad. Ada pun tahap ketiga ini dimulai dengan tibanya Rasulullah ke Madinah melalui peristiwa hijrah Rasulullah pada tahun 622M bersama sahabat baginda, Abu Bakar. Setibanya di Madinah, Rasulullah SAW melakukan aktiviti sebagai berikut:


1. Membangun Masjid

Rasulullah SAW memerintahkan para sahabat membangun Masjid. Pembangunan masjid mempunyai erti yang sangat penting bagi pembangunan masyarakat Islam yang terdiri daripada individu-individu muslim yang sentiasa berpegang teguh kepada aqidah dan syari’at Islam.

Rasulullah SAW menjadikan masjid tidak hanya sebagai tempat solat melainkan juga sebagai tempat berkumpul, bermusyawarah, membina ukhuwah dan aqidah Islam serta mengatiur berbagai persoalan kaum muslimin sekaligus memutuskan hukum di antara mereka.


2. Membina Ukhuwah Islamiah

Aktiviti selanjutnya yang dilakukan Rasulullah SAW adalah mempersaudarakan antara kaum Anshar dan Muhajirin. Persaudaraan yang digambarkan oleh Rasulullah SAW ibarat satu tubuh. Bila salah satu anggota tubuh ditimpa kesakitan maka seluruh tubuhnya merasakan sakit. Persaudaraan yang mendarah daging mengalir dalam tubuh setiap umat sehingga lenyap sama sekali segala bentuk fanatik golongan, suku bangsa dan perkauman.


Rasulullah mempersaudarakan Bilal yang berkulit hitam dari Afrika dengan Abu Ruwaim Al-Khutsa’mi, Salman Al Farisi dari Parsi dengan Mus’ab bin Umair dan lain sebagainya. Persaudaraan ini tidak hanya sampai batas mewarisi harta bahkan isteri (saat itu belum ada larangannya), sebagaimana yang terjadi antara Sa’ad bin Rabi dari kaum Anshar dengan Abdurrahman bin Auf dari kaum Muhajirin sehingga kata Sa’ad bin Rabi:

“Aku adalah orang Anshar yang paling kaya, inilah hartaku, aku bahagikan antara kita berdua. Aku mempunyai dua isteri, kuceraikan seorang dan kahwinilah olehmu.”[Sirah Al Halabiyah II: 292]

Persaudaraan dengan ikatan Aqidah Islamiah ini semakin bertambah kukuh setelah dinaungi sebuah Daulah dibawah kepimpinan Rasulullah SAW yang menerapkan Sistem Islam.


3. Menyusun Piagam Perjanjian

Setelah Islam datang dan terbentuk masyarakat Islam di Madinah, gambaran dan pola hubungan antara masyarakat Yahudi dan Islam semakin tampak perbezaannya. Oleh kerana itu harus ada kebijaksanaan hukum yang mengatur hubungan mereka dengan kaum muslimin.


Rasulullah SAW kemudian membuat perjanjian (piagam Madinah). Istilah sekarang disebut Undang-Undang Dasar yang berfungsi sebagai suatu manhaj (jalan atau strategi pengamanan) dalam mengatur atau membuat batasan-batasan yang menyangkut interaksi antara kabilah-kabilah Yahudi dan kaum muslimin. Lebih dari itu isi perjajian mencakup pula hubungan negara dengan masyarakat atau masyarakat dengan negara. Dr. Musthafa Asy Siba’I dalam bukunya ‘Sirah Nabawiyyah Duruus wal Ibral’ mengemukakan pokok-pokok isi perjanjian tersebut seperti yang berikut:

1) Kesatuan umat Islam tanpa mengenal perbezaan suku, bangsa dan kaum.

2) Persamaan hak dan kewajiban bagi seluruh warga masyarakat.

3) Gotong-royong dalam segala hal yang bukan kezaliman, dosa dan permusuhan.

4) Kompak dalam menentukan hubungan dengan musuh-musuh Islam.

5) Membangunkan suatu masyarakat dalam suatu sistem yang sebaik-baiknya.

6) Melawan orang-orang yang menentang negara dan membangkang sistemnya.

7) Melindungi orang yang ingin hidup berdampingan dengan orang Islam dan tidak boleh berbuat zalim kepadanya.

8) Umat non-muslim bebas melaksanakan agamanya dan tidak boleh dipaksaumat Islam dam tidak diganggu harta bendanya.

9) Umat non-Muslim harus ambil bahagiaan dalam pembiayaan negara sebagaimana umat Islam.

10) Umat non-muslim harus saling membantu dengan umat Islam untuk menolak bahaya yang akan mengancamnegara.

11) Umat Islam dan non-muslim tidak boleh melindungi musuh negara dan orang-orang yang memusuhi negara.

12) Warga negara bebas keluar masuk negara selama tidak merugikan negara.

13) Ikatan sesama anggota masyarakat didasarkan prinsip tolong-menolong untuk kebaikan dan ketakwaan. Tidak atas dosa dan aniaya.

14) Dasar-dasar tersebut ditunjang oleh dua kekuatan. Kekuatan ruh (spritual) yaitu imannya kepada Allah, keyakinan akan pengawasan dan perlindungan Allah bagi orang yang berbuat baik. Begitu pula jika ditunjang oleh kekuatan meterialistik (kebendaan) yaitu kepimpinan negara yang dipimpin oleh Rasulullah SAW.


4. Strategi Politik dan Militeri (k etenteraan)

Dalam rangka menyebarkan dakwah Islam ke luar negeri Madinah, sekaligus mengumumkan kepada bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain mengenai berdirinya Daulah Islamiah, maka diambil beberapa langkah lanjutan sebagai berikut:

1) Mengirim surat (mengajak kepada Islam (dakwah Islam), jika tidak mahu menerima Islam sebagai agama, mestilah patuh dengan hukum Islam di bawah Daulah Islam)kepada kepala-kepala negara/ kerajaan, pimpinan kabilah/suku yang ada di sekitar jazirah Arab.

2) Memaklumkan perang kepada orang-orang yang menetang dakwah Islam.

3) Memerangi kabilah-kabilah yang mengkhianati perjanjian perdamaian bersama kaum muslimin.

4) Menjadikan Daulah Islamiah sebagai satu kekuatan yang disegani dan ditakuti lawan-lawannya.


Melalui penelitian dan penghayatan langkah-langkah dakwah Rasulullah sejak masa Mekah hingga masa Madinah dapat disimpulkan bahawa pada masa Mekah, Baginda lebih bersikap sebagai seorang da’ie, muballigh, imam dan sekaligus sebagai tokoh politik dan pemimpin jemaah kaum muslimin. Manakala dalam masa Madinah, baginda bukan hanya berperana sebagai seorang Rasul, tetapi juga sebagai kepala negara di dalam pemerintahan Daulah Islamiah (Khilafah).


Keberhasilan para da’ie penerus dakwah sangat ditentukan oleh sejauh mana kesetiaannya mengikuti jejak langkah (Thoriqah) dakwah Rasulullah SAW. Mudah-mudahan kita sentiasa dianugerahkan taufiq dan hidayah daripada-Nya dalam menegakkan Islam di bumi Allah ini.


Ingatlah bahawa menerapkan Islam di dalam kehidupan secara menyeluruh adalah suatu kewajiban dan Islam akan terlaksana sepenuhnya dengan adanya Daulah iaitu Khilafah Islam. Maka mendirikan semula Khilafah adalah wajib. Untuk mendirikan Khilafah perlu adanya usaha ke arah mendirikannya. Maka usaha-usaha ke arah mendirikan Khilafah juga hukumnya menjadi wajib tatkala dunia ketiadaan Khilafah di zaman ini. Dan usaha untuk mendirikan semula Khilafah mestilah dilakukan melalui thoriqah (jalan atau cara) sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Baginda SAW kerana apa sahaja yang dilakukan oleh Baginda bukanlah menurut hawa nafsunya melainkan adalah merupakan wahyu daripada Allah. Ini beerti thoriqah tersebut adalah merupakan perintah Allah iaitu hukum syara’ yang wajib diikuti. Oleh kerana itu, umat Islam yang ingin bangkit harus melalui jalan dakwah yang lurus dengan metod (thoriqah) yang benar dengan cara memahami perjalanan dakwah Rasulullah secara keseluruhan, mengikuti dan melaklaksanakannya. Moga jalan dakwah yang telah dilakukan Rasulullah ini akan menjadi teladan dalam usaha untuk membangkitkan umat Islam dan mencapai kejayaan dalam menegakkan syi’ar Islam buat kedua kalinya. InsyaAllah..

“Kamu (ummat Islam) adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, menyeru yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar,dan beriman kepada Allah” [Surah Ali Imran ayat 110]

Dikutip dari: http://padukasufi.blogspot.com/2010/01/teladan-dakwah-rasulullah.html

Berani Menghadapi Perubahan



Oleh Prof. Dr. Ir. Irwan Effendi, MSc.

Kepala Dinas Pendidikan Propinsi Riau,
Guru Besar Universitas Riau


Perubahan pasti akan terjadi. Tidak ada seorang pun yang sanggup menahan apalagi menghentikannya. Perubahan adalah hukum alam. Melawan perubahan sama artinya dengan melawan arus besar alam semesta. Dapat dipastikan tak ada satu pun kekuataan di dunia ini yang sanggup melawan hukum alam tersebut, sesuatu yang pasti akan terjadi.

Dalam sejarah peradaban manusia, selalu mengalami fase perkembangan dan kejayaan yang silih berganti. Peradaban besar timbul lalu tenggelam digantikan dengan peradaban baru. Dalam rentang ribuan tahun, sejarah manusia telah mencatat puluhan peradaban besar yang pernah jaya dan gemilang di masanya. Mesopotamia, Babilon, Mesir kuno, Mongol, Tiongkok, Sriwijaya, Majapahit, Dinasti Islamiah dan puluhan peradaban besar lainnya bertumbangan dan kini tinggal menghuni di lembaran catatan sejarah dunia.

Kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi telah menjadikan dunia mengecil. Batasan ruang dan waktu menjadi nisbih. Akses informasi bukan lagi hak segelintir para elit istana atau orang-orang dekat kaisar. Semua orang dengan mudahnya mendapatkan informasi terbaru tanpa lagi memandang apa siapanya ia. Piranti komunikasi yang telah mendekomposisi sekat-sekat ruang dan waktu menjadikan perubahan menjadi putaran roda yang kian kencang. Siapa saja yang lalai dan abai sudah dapat dipastikan ia akan tergilas perubahan.

Internet, handphone, iPod, blog, facebook, twiter, milist yang lebih interaktif dan bersifat dua arah telah mengalahkan pernanan komunikasi satu arah ala televisi dan radio. Makin interaktifnya komunikasi dan jejaring informasi yang kian mudah diakses dan simpel telah merubah kepercayaan orang. Sebelumnya, otoritas yang berhak dipercaya adalah raja-raja, tetua adat, alim ulama dan orang cerdik pandai. Tapi kini orang lebih percaya pada komunitas yang dibangun oleh manda komunikasi yang disebutkan di atas. Sebut saja dalam kasus yang lagi hangat-hangatnya tentang kasus perseteruan beberapa petinggi di lembaga tinggi penegak hukum negara ini (KPK, Polri dan Kejakasaan), dengan cepatnya orang meragukan seorang SBY lantaran serangan opini yang dibangun di “satu juta dukungan facebook”.

Tanpa ada peraturan yang mengaturnya, semua orang merasa satu hati dan satu pikiran ketika telah bergabung dalam sebuah komunitas di dunia maya seperti facebook, twiter dan blog. Perubahan yang begitu revolusioner dalam sistem komunikasi telah mendatangkan dinamisasi yang luar biasa terhadap akses informasi. Kecanggihan manda pendukungnya telah kian meningkatkan mobilisasi individu. Dunia telah menjadi satu tanpa sekat ruang dan waktu.

Dalam hal ini, diri setiap kita tetaplah manusia yang berkomposisi sama, memiliki raga, jiwa dan hati. Pendulangan yang begitu berlebihan terhadap kegesitan raga telah menyedot kita dalam pertarungan yang ketat untuk mempertahankan eksistensi. Berapa banyak orang-orang hebat yang bahkan dipuja manusia setengah dewa, yang telah mampu menggapai semua apa yang menjadi impian oleh sebagian besar menusia lainnya, tapi menderita ketimpangan kepribadian.

Semua sarana dan fasilitas hidup yang serba canggih tersebut hanya diperuntukkan bagi kebutuhan fisik saja. Padahal manusia juga butuh keseimbangan diri yakni pemenuhan bagi kebutuhan lahir dan batin. Manusia juga butuh memberikan asupan gizi bagi jiwanya. Betapa banyak manusia modern yang terjebak dalam perubahan yang dibuatnya sendiri lalu tersedot dalam pusaran materialisme. Namun sayangnya, “dewa materialisme” tersebut telah gagal menjadikan manusia menjadi sosok yang bahagia secara paripurna.

Dr. Carl Jung menulis dalam bukunya The Modern Man In Search of Spiritual telah melakukan kajian yang mendalam, bahwa pengabaian terhadap nilai-nilai spiritual merupakan kejahatan individu yang sangat berbahaya. Banyak kajian lain yang telah menandaskan kepada kita bahwa materialisme bukanlah sebagai penentu segala keberhasilan dan kebahagian seseorang.

Kegagalan orang dalam menghadapi perubahan bukan serta merta disandarkan kepada mereka yang tidak mampu mengumpulkan segala kebendaan yang bernama harta kekayaan. Walau kenyataannya orang-orang yang mampu mengungguli perubahan selalu diidentikan dengan mereka yang mampu meraup dolar sebanyak-banyaknya. Perubahan bagi mereka yang berpaham materialisme adalah perubahan untuk menangguk keuntungan. Jadi keberhasilan diukur dari seberapa banyak dolar yang mereka bukukan. Sedangkan kegagalan menghadapi badai perubahan selalu disandingkan dengan kebangkrutan.
Kenyataan yang sebenarnya, kegagalan dalam menyikapi perubahan adalah terletak pada ketidakseimbangan pada kepribadian seseorang. Boleh saja ia bangkrut karena perubahan ekstrim dalam perekonomian dunia. Namun ia tak kehilangan gairah untuk bangkit lalu mampu berdiri kembali dari keterpurukan. Mereka yang berhasil mengarungi perubahan seekstrim apapun tapi tampil sebagai sosok yang rakus, tamak, dan tak bisa bersyukur bukanlah mereka yang masuk kategori ini. Dalam peradaban manapun yang pernah kita baca dalam buku sejarah dunia, sikap tamak, rakus, sombong, juwana, kikir dan tak bersyukur adalah musabab paling meyakinkan akan kehancurannnya.
Perubahan selalu saja mendatangkan sesuatu yang baru. Keberadan kita dalam sebuah perubahan tidaklah senantiasa berada dalam posisi berhadap-hadapan. Prinsipnya, perubahan tak bisa dilawan dengan kekuatan apapun. Pilihannya hanya satu, mengikuti perubahan tersebut. Buku ini ingin memberikan penyegaran bagi siapa saja yang membacanya, bahwa perubahan itu bukanlah sesuatu yang menggamangkan dan menakutkan. Penyikapan diri yang benar terjadap perubahan tersebut adalah kuncinya. Formula yang ditawarkan dalam buku ini sangat simpel dan mudah dipahami, yakni bersyukur. Betapa banyak dari kita yang tidak pandai bersyukur terhadap karunia yang kita terimah dalam hidup ini. Ketidakpandaian bersyukur itulah yang menggiring manusia menjadi pendurhaka dan pembangkang. Kenyataannya yang kita baca dalam buku-buku sejarah mana pun, bahwa para pendurhaka dan pembangkang selalu gagal dan kalah dalam menghadapi perubahan.

Bersyukur merupakan tangga awal dan terpenting untuk dapat mengumpulkan energi positif sebanyak-banyaknya dari semesta. Darinya timbul pikiran positif yang mampu membaca dengan jernih potensi-potensi yang kita miliki. Selain itu, bersyukur akan menjadikan hidup ini sebagai rumah yang penuh keramahan, kehangatan dan kedamaian. Dalam banyak kasus, hanya orang yang pandai bersyukurlah yang lebih sabar dan tegar menghadapi kesulitan sesulit apapun. Semoga setelah membaca buku ini menjadikan kita sebagai orang yang paling siap menghadapi perubahan.***


Pekanbaru, Akhir November 2009
Diambil dari Epilog buku My Strawberry, penulis: Joni Lis Efendi, Penerbit: Abdika, 2010