Look

Jumat, 09 Juli 2010

Berani Menghadapi Perubahan



Oleh Prof. Dr. Ir. Irwan Effendi, MSc.

Kepala Dinas Pendidikan Propinsi Riau,
Guru Besar Universitas Riau


Perubahan pasti akan terjadi. Tidak ada seorang pun yang sanggup menahan apalagi menghentikannya. Perubahan adalah hukum alam. Melawan perubahan sama artinya dengan melawan arus besar alam semesta. Dapat dipastikan tak ada satu pun kekuataan di dunia ini yang sanggup melawan hukum alam tersebut, sesuatu yang pasti akan terjadi.

Dalam sejarah peradaban manusia, selalu mengalami fase perkembangan dan kejayaan yang silih berganti. Peradaban besar timbul lalu tenggelam digantikan dengan peradaban baru. Dalam rentang ribuan tahun, sejarah manusia telah mencatat puluhan peradaban besar yang pernah jaya dan gemilang di masanya. Mesopotamia, Babilon, Mesir kuno, Mongol, Tiongkok, Sriwijaya, Majapahit, Dinasti Islamiah dan puluhan peradaban besar lainnya bertumbangan dan kini tinggal menghuni di lembaran catatan sejarah dunia.

Kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi telah menjadikan dunia mengecil. Batasan ruang dan waktu menjadi nisbih. Akses informasi bukan lagi hak segelintir para elit istana atau orang-orang dekat kaisar. Semua orang dengan mudahnya mendapatkan informasi terbaru tanpa lagi memandang apa siapanya ia. Piranti komunikasi yang telah mendekomposisi sekat-sekat ruang dan waktu menjadikan perubahan menjadi putaran roda yang kian kencang. Siapa saja yang lalai dan abai sudah dapat dipastikan ia akan tergilas perubahan.

Internet, handphone, iPod, blog, facebook, twiter, milist yang lebih interaktif dan bersifat dua arah telah mengalahkan pernanan komunikasi satu arah ala televisi dan radio. Makin interaktifnya komunikasi dan jejaring informasi yang kian mudah diakses dan simpel telah merubah kepercayaan orang. Sebelumnya, otoritas yang berhak dipercaya adalah raja-raja, tetua adat, alim ulama dan orang cerdik pandai. Tapi kini orang lebih percaya pada komunitas yang dibangun oleh manda komunikasi yang disebutkan di atas. Sebut saja dalam kasus yang lagi hangat-hangatnya tentang kasus perseteruan beberapa petinggi di lembaga tinggi penegak hukum negara ini (KPK, Polri dan Kejakasaan), dengan cepatnya orang meragukan seorang SBY lantaran serangan opini yang dibangun di “satu juta dukungan facebook”.

Tanpa ada peraturan yang mengaturnya, semua orang merasa satu hati dan satu pikiran ketika telah bergabung dalam sebuah komunitas di dunia maya seperti facebook, twiter dan blog. Perubahan yang begitu revolusioner dalam sistem komunikasi telah mendatangkan dinamisasi yang luar biasa terhadap akses informasi. Kecanggihan manda pendukungnya telah kian meningkatkan mobilisasi individu. Dunia telah menjadi satu tanpa sekat ruang dan waktu.

Dalam hal ini, diri setiap kita tetaplah manusia yang berkomposisi sama, memiliki raga, jiwa dan hati. Pendulangan yang begitu berlebihan terhadap kegesitan raga telah menyedot kita dalam pertarungan yang ketat untuk mempertahankan eksistensi. Berapa banyak orang-orang hebat yang bahkan dipuja manusia setengah dewa, yang telah mampu menggapai semua apa yang menjadi impian oleh sebagian besar menusia lainnya, tapi menderita ketimpangan kepribadian.

Semua sarana dan fasilitas hidup yang serba canggih tersebut hanya diperuntukkan bagi kebutuhan fisik saja. Padahal manusia juga butuh keseimbangan diri yakni pemenuhan bagi kebutuhan lahir dan batin. Manusia juga butuh memberikan asupan gizi bagi jiwanya. Betapa banyak manusia modern yang terjebak dalam perubahan yang dibuatnya sendiri lalu tersedot dalam pusaran materialisme. Namun sayangnya, “dewa materialisme” tersebut telah gagal menjadikan manusia menjadi sosok yang bahagia secara paripurna.

Dr. Carl Jung menulis dalam bukunya The Modern Man In Search of Spiritual telah melakukan kajian yang mendalam, bahwa pengabaian terhadap nilai-nilai spiritual merupakan kejahatan individu yang sangat berbahaya. Banyak kajian lain yang telah menandaskan kepada kita bahwa materialisme bukanlah sebagai penentu segala keberhasilan dan kebahagian seseorang.

Kegagalan orang dalam menghadapi perubahan bukan serta merta disandarkan kepada mereka yang tidak mampu mengumpulkan segala kebendaan yang bernama harta kekayaan. Walau kenyataannya orang-orang yang mampu mengungguli perubahan selalu diidentikan dengan mereka yang mampu meraup dolar sebanyak-banyaknya. Perubahan bagi mereka yang berpaham materialisme adalah perubahan untuk menangguk keuntungan. Jadi keberhasilan diukur dari seberapa banyak dolar yang mereka bukukan. Sedangkan kegagalan menghadapi badai perubahan selalu disandingkan dengan kebangkrutan.
Kenyataan yang sebenarnya, kegagalan dalam menyikapi perubahan adalah terletak pada ketidakseimbangan pada kepribadian seseorang. Boleh saja ia bangkrut karena perubahan ekstrim dalam perekonomian dunia. Namun ia tak kehilangan gairah untuk bangkit lalu mampu berdiri kembali dari keterpurukan. Mereka yang berhasil mengarungi perubahan seekstrim apapun tapi tampil sebagai sosok yang rakus, tamak, dan tak bisa bersyukur bukanlah mereka yang masuk kategori ini. Dalam peradaban manapun yang pernah kita baca dalam buku sejarah dunia, sikap tamak, rakus, sombong, juwana, kikir dan tak bersyukur adalah musabab paling meyakinkan akan kehancurannnya.
Perubahan selalu saja mendatangkan sesuatu yang baru. Keberadan kita dalam sebuah perubahan tidaklah senantiasa berada dalam posisi berhadap-hadapan. Prinsipnya, perubahan tak bisa dilawan dengan kekuatan apapun. Pilihannya hanya satu, mengikuti perubahan tersebut. Buku ini ingin memberikan penyegaran bagi siapa saja yang membacanya, bahwa perubahan itu bukanlah sesuatu yang menggamangkan dan menakutkan. Penyikapan diri yang benar terjadap perubahan tersebut adalah kuncinya. Formula yang ditawarkan dalam buku ini sangat simpel dan mudah dipahami, yakni bersyukur. Betapa banyak dari kita yang tidak pandai bersyukur terhadap karunia yang kita terimah dalam hidup ini. Ketidakpandaian bersyukur itulah yang menggiring manusia menjadi pendurhaka dan pembangkang. Kenyataannya yang kita baca dalam buku-buku sejarah mana pun, bahwa para pendurhaka dan pembangkang selalu gagal dan kalah dalam menghadapi perubahan.

Bersyukur merupakan tangga awal dan terpenting untuk dapat mengumpulkan energi positif sebanyak-banyaknya dari semesta. Darinya timbul pikiran positif yang mampu membaca dengan jernih potensi-potensi yang kita miliki. Selain itu, bersyukur akan menjadikan hidup ini sebagai rumah yang penuh keramahan, kehangatan dan kedamaian. Dalam banyak kasus, hanya orang yang pandai bersyukurlah yang lebih sabar dan tegar menghadapi kesulitan sesulit apapun. Semoga setelah membaca buku ini menjadikan kita sebagai orang yang paling siap menghadapi perubahan.***


Pekanbaru, Akhir November 2009
Diambil dari Epilog buku My Strawberry, penulis: Joni Lis Efendi, Penerbit: Abdika, 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar