Look

Selasa, 27 Juli 2010

Syukurilah Lautan Nikmat Allah



Oleh: Joni Lis Efend


“Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menghitungnya.”
(QS. Ibrahim: 34)

Berbahagilah atas segala nikmat yang telah Allah anugerahkan kepada kita. Semua yang ada pada diri kita, sungguh tak akan sanggup kita menyebutkan satu per satu apalagi mengukur kadar kegunaannya untuk mendukung kehidupan kita.

Berapa volume oksigen per menit yang masuk ke dalam paru-paru kita, yang kemudian diangkut darah ke seluruh tubuh yang digunakan untuk pembakaran energi sehingga mampu menupang aktivitas metabolisme tubuh dan gerak anggota badan. Duhai sekiranya jantung Anda berhenti berdetak tiga detik saja, orang-orang akan datang mengkafani, menshalatkan dan mengantarkan jenazah Anda ke pemakaman. Betapa tak sanggup kita mengukur sampai batas mana nikmat mata, yang menjadi jendela terindah antara kita dengan dunia sekitar. Dengan mata, kita mampu menikmati aneka warna bunga, hijau rerumputan, taburan kerlip bintang-bintang di langit malam tanpa awan, menyaksikan rupa lengkung pelangi yang menjadi perisai tujuh warna yang aduhai dan indahnya bulu-bulu burung dan binatang peliharaan.

Sekiranya Allah menarik nikmat penciuman hidung, tentu kita tidak akan mampu mendeteksi harumnya melati, lembutnya wangi parfum, nikmatnya aroma makanan. Selera kita akan hambar, sensitifitas kita pada ruangan yang berpengharum lavender tak terasa dan yang kita rasakan hanya kedataran. Begitu juga indra peraba, halus kasarnya permukaan bumi Allah dan benda-benda yang kita punyai. Alangkah tak beruntungnya kita ketika tak mampu merasakan lembutnya belaian kasih orang-orang tercinta lantaran indra peraba kita lagi bermasalah.
Lalu, nikmat Allah yang mana lagi yang sanggup kita dustakan?
Ketika pikiran dan akal kita tak lagi bekerja normal, alamat kesia-siaan hidup akan mendera kita saban hari. Kerja tubuh tak stabil dan seimbang, menyebabkan kegoncangan emosi dan jiwa. Berapa banyak orang-orang yang mendekam di ruangan pengap berjeruji ketika Allah menarik nikmat waras pada akal pikirannya. Derajat manusianya, orang-orang tak menganggapnya penting karena hampir tak mampu melakukan komunikasi verbal yang layak. Kadang-kadang dia menangis tersedu-sedu, dalam detik yang lain terbahak sejadi-jadinya lalu mengoceh tak tentu ujung pangkal. Bayangkanlah, seperti apa diri kita ketika nikmat waras itu dicabut dan kita menjadi salah satu penghuni kamar berjeruji rumah sakit jiwa.

Biliunan sel syaraf otak kita, bekerja miliaran kali lebih canggih dan cepat daripada komputer sesuper hebat apapun, yang mengatur segala fungsi kerja organ tubuh. Otak kita mampu mengatur tempo dan keseimbangan anggota tubuh, mengendalikan kerja emosi, seni, intelegensi, dan kecapakan sosial, serta mampu menyadari dan mengidentifikasi personalitas kita ketika melakukan hubungan dengan dunia luar, dan dalam tahap-tahap tertentu mampu menangkah esensi ketuhanan yang absurd. Lalu, bagaimana bisa kita menganggap semua yang ada pada diri kita tidak ada gunanya sama sekali atau itu bukanlah nikmat yang besar.
“Pada dirimu sendiri, apakah kamu tidak memperhatikan?”
(QS. Adz-Dzariyat: 21)

Dalam diri kita, Allah menanamkan kesanggupan dan kesigapan untuk dapat mempertahankan diri kita dalam kehidupan dunia ini. Diri kita sebenarnya telah memiliki mentalitas, motivasi dan kehausan untuk dapat berprestasi, menjadi lebih hebat dan pemimpin. Karena untuk itu, Allah telah menyiapan seperangkap alat kerja biologis yang super canggih. Tidakkah kita mengamati dalam-dalam bagaimana kerja tangan, kaki, mulut, pikiran, akal dan hati kita, yang semua itu adalah modal personal kita untuk meraih kesuksesan dan kebahagian hidup. Namun tak jarang kita mengabaikannya. Dan, menganggap bahwa modal itu harus berupa modal yang besar, kepercayaan orang lain atau sogokan semangat dari orang-orang yang kita anggap sangat berhasil di bidangnya. Lalu, kita benar-benar jadi frustasi dab stres lantaran tidak memenuhi kriteria sukses seperti figur yang kita idolakan itu.

Betapa naifnya cara pandang yang sempit seperti itu. Padahal Allah telah memberikan kapasitas dan kapabilitas yang setara antara setiap manusia. Hanya saja, bagi mereka yang tak mengenalnya yang kemudian tidak memanfaatkannya secara optimal, tentu mereka akan masuk ke dalam kelompok orang-orang kalah, yang selalu menyalahan nasib dan ketidakadilan Tuhan. Betapa piciknya pikiran yang demikian.
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan di bumi, dan Dia menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin.”
(QS. Lukman: 20)

Maka, dengan cara seperti apa kita masih tetap mempertanyakan ketidakadilan Allah dan manafikan semua nikmatnya yang ada pada diri kita. Hanya orang-orang yang mampu mensyukuri nikmat Allah pada dirinya dan memanfaatkan segala potensi yang dimilikinya, yang akan mendapat keberhasilan dan keuntungan yang besar.

Bab I dari Buku Chocolate of Happiness karya Joni L. Efendi Terbitan Diva Press, Agustus 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar